Kamis, 29 November 2012

Perbandingan Novel Sampek Eng Tay Karya Zhang Du dan Novel Roro Mendut Karya YB. Mangunwijaya Berdasarkan Unsur Romantisme dan Kehidupan Sosialnya



Perbandingan Novel Sampek Eng Tay Karya Zhang Du dan Novel Roro Mendut Karya YB. Mangunwijaya Berdasarkan Unsur Romantisme dan Kehidupan Sosialnya


unib1.jpeg
 










Oleh:
Nama                          : Dian Lestari
NPM                           : A1A010049
Kelas                           : Vb
Dosen                          : Dra. Yayah Chanafiah, M. Hum.


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS BENGKULU
2012

Novel Sampek Engtay dan Roro Mendut merupakan novel kondang yang didalamnya terdapat cerita yang segar untuk dibaca. Kedua novel ini adalah salah satu perwujudan budaya Cina dan Jawa yang dikembangkan dalam seluk beluk kisah yang dihadapi tokoh ketika menjalani hidupnya sampai akhirnya ajal menjemput. Berikut adalah sinopsis, analisis serta perbandingan kedua novel dilihat dari segi romantisme dan kehidupan sosial tokohnya.

A.    SINOPSIS
Sampek Eng Tay
Karya Zhang du
Pada jaman dahulu kala di negeri Cina tepatnya di propinsi Zhejiang hiduplah keluarga Zhu. Mereka termasuk keluarga kaya dan terpandang di daerah tersebut. Keluarga Zhu mempunyai seorang putri yang sangat cantik bernama Cuk Eng Tay. Sebagai anak perempuan, Eng Tay tidak boleh sering keluar rumah. Hal itu selalu membuatnya bosan. Dia ingin sekali pergi bersekolah seperti anak laki-laki. Berulang kali Eng Tay membujuk ayahnya untuk mengijinkannya pergi sekolah, namun ayahnya selalu menolak dengan tegas.
Suatu hari dia mendapat sebuah ide. Eng Tay mengurung diri di kamar dan berpura-pura sakit. Tuan Zhu yang khawatir dengan kesehatan putri tunggalnya menyetujui usul Lin Ce, pengasuh putrinya, untuk memanggil seorang peramal.
"Tuan, saya sarankan anda untuk mengirim putri anda ke sekolah di luar kota, maka dia akan sembuh," kata si peramal.
"Apa? Tidak mungkin aku mengirim anak perempuanku bersekolah. Tak ada seorang gadis pun di sana!" kata Tuan Zhu gusar. Tiba-tiba peramal itu menyingkap tutup kepala dan jubahnya. Tuan Zhu terkejut karena peramal itu tidak lain adalah Eng Tay.
"Ayah, kalo aku berpakaian seperti laki-laki, bolehkah aku pergi ke sekolah? Tidak akan ada yang menyangka bahwa aku seorang gadis," bujuk Eng Tay.
Akhirnya dengan berat hati Tuan zhu mengijinkan Eng Tay untuk pergi bersekolah.
Pada hari yang ditentukan dengan ditemani Lin Ce yang setia, Eng Tay berangkat ke sekolah Sung Yee. Tentu saja dengan menyamar sebagai laki-laki. Di tengah perjalanan Eng Tay bertemu dengan seorang pemuda yang juga akan pergi ke Sung Yee. Mereka pun berkenalan dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan bersama-sama. Pemuda itu bernama Liang Sam Pek dan berasal dari Guiji. Mereka pun menjadi akrab dan berjanji untuk saling menjaga. Sam Pek menganggap Eng Tay sebagai adik dan demikian sebaliknya Eng Tay
menganggap Sam Pek sebagai kakak.
Di sekolah Eng Tay belajar dengan giat. Dia sangat bersemangat, apalagi kini dia semakin akrab dengan Sam Pek sehingga hari-harinya tidak lagi membosankan. Karena Eng Tay gadis yang serdik, tidak seorang pun mencurigai penyamarannya. Maka Sam Pek pun memperlakukan Eng Tay sebagai adik laki-laki. Padahal Eng Tay ternyata mulai menaruh hati pada Sam Pek.
Tidak terasa bertahun-tahun Eng Tay menghabiskan harinya di Sung Yee. Selama itu dia tidak pernah sekali pun pulang menengok ayahnya. Hanya Lin Ce yang pulang pergi membawa kabar dari Eng Tay dan ayahnya. Suatu hari Lin Ce membawa surat dari rumah yang mengabarkan bahwa ayahnya sakit keras dan menyuruhnya pulang. Eng Tay bimbang, dia sangat ingin pulang menengok ayahnya namun dia juga takut sekembalinya ke rumah dia tidak akan bisa kembali ke sekolah. Itu artinya Eng Tay tidak bisa bertemu lagi dengan Sam Pek. Kepada Lin Ce dia berterus terang bahwa dia telah jatuh cinta kepada Sam Pek.
Akhirnya Eng Tay dan Lin Ce memutuskan utnuk meminta nasehat kepada guru Eng Tay. Eng Tay berterus terang bahwa dia adalah seorang gadis yang menyamar agar bisa sekolah. Untunglah beliau tidak marah. Eng Tay menitipkan sebuah bandulan kipas kepada guru untuk diberikan kepada Sam Pek.
Dengan berat hati Sam Pek mengantar kepergian Eng Tay. Sebelum berpisah Eng Tay mencoba memberi isyarat kepada Sam Pek bahwa dia adalah seorang gadis, namun Sam Pek tidak mengerti arti isyarat Eng Tay. Akhirnya Eng Tay menyerah dan berkata bahwa dia akan menjodohkan Sam Pek dengan adiknya, maka Sam Pek harus datang menemuinya dan melamarnya.
Setelah ditinggal Eng Tay, Sam Pek merasa kesepian. Akhirnya dia meminta ijin gurunya untuk menjenguk Eng Tay. Guru Sun Yee lalu memberikan bandulan kipas dari Eng Tay kepada Sam Pek dan memberitahukannya bahwa Eng Tay sebenarnya adalah seorang gadis. Sam Pek terkejut mendengarnya. Akhirnya dia mengerti bahwa sebenarnya Eng Tay ingin agar Sam Pek melamar Eng Tay dan bukan adiknya. Dengan hati berbunga-bunga Sam Pek pun berpamitan dan langsung memacu kudanya ke rumah Eng Tay.
Sementara itu Tuan Zhu bermaksud menjodohkan Eng Tay dengan anak keluarga kaya dan berkuasa bernama Ma Wencai. Tentu saja Eng Tay menolaknya dan berterus terang bahwa dia sudah memiliki seorang kekasih yang akan segera melamarnya. Tuan Zhu sangat marah mendengarnya. Dia tetap memaksa Eng Tay untuk menerima lamaran Ma Wencai dan mengancam akan mencelakakan Sam Pek jika Eng Tay berani menolaknya. Maka Eng Tay pun hanya bisa menangis sedih mendengar keputusan ayahnya.
Beberapa hari kemudian Sam Pek sampai di rumah Eng Tay. Setelah memohon pada ayahnya, akhirnya Eng Tay bisa menemui Sam Pek. Mereka sangat bahagia bisa bertemu lagi. Namun Eng Tay juga bersedih karena ini adalah terakhir kalinya dia bisa menemui Sam Pek. Ketika Sam Pek mengutarakan niatnya untuk mempersunting Eng Tay, Eng Tay pun tak kuasa menahan air matanya.
"Kenapa kau kelihatan menangis, adik Eng Tay? Apakah kau tidak suka aku melamarmu?" tanya Sam Pek.
"Aku bahagia kakak Sam Pek. Tapi... ayahku telah menjodohkanku dengan pria lain dan aku tidak bisa menolaknya. Maafkan aku kakak!" tangis Eng Tay.
Sam Pek sangat marah mendengarnya. Dia pikir Eng Tay sudah melupakannya dan tidak ingin menjadi istrinya.
"Jadi kau lebih memilih menjadi istri orang kaya itu daripada aku yang miskin?" kata Sam Pek dengan marah.
"Bukan begitu kakak Sam Pek, ini adalah keinginan ayah dan aku tidak kuasa menolaknya. Mengertilah kakak! Meski aku harus menikah dengan orang lain, cintaku hanya untuk kakak seorang," isak Eng Tay.
Sam Pek tidak mau mendengar perkataan Eng Tay, dengan sedih dia memacu kudanya pulang ke rumahnya. Sam Pek kehilangan semangat hidupnya. Maka dia pun menghabiskan waktunya dengan minum banyak arak hingga lupa makan, lupa tidur. Akhirnya Sam Pek pun jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah. Sam Pek pun tidak mau berobat. Baginya hidup sudah tidak berarti lagi.
Ibu Eng Tay sangat sedih melihat keadaan putranya. Maka dengan berlinang air mata dia pergi ke rumah Eng Tay dan memohon kepada Tuan Zhu supaya mengijinkan Eng Tay menemui Sam Pek untuk terakhir kalinya. Namun Tuan Zhu menolaknya. Dengan hati sedih Eng Tay hanya bisa menitipkan sebuah bingkisan berisi puisi-puisi cinta dan segumpal rambutnya.
Sam Pek semakin sedih dan semakin tidak bergairah untuk sembuh. Suatu hari ketika sakitnya semakin parah, dia berpesan kepada ibunya bahwa jika ia meninggal dia ingin dikuburkan di jalan yang akan dilalui oleh iring-iringan pengantin Eng Tay. Beberapa saat kemudian Sam Pek pun menghembuskan nafas terakhirnya.
Eng Tay pun berduka mendengar kematian kekasihnya. Dia menangis sepanjang hari dan meratapi nasib yang tidak menyatukannya dengan kekasih yang dicintainya.
Tuan Zhu sangat khawatir melihat keadaaan putrinya, maka dia meminta supaya tanggal pernikahan putrinya dipercepat.
Eng Tay lalu memohon kepada ayahnya supaya diijinkan untuk turun sebentar dari tandu pengantin dan mengunjungi makam Sam Pek untuk memberi penghormatan terakhir. Meski tidak setuju tapi akhirnya Tuan Zhu dan keluarga Ma memberi ijin.
Maka ketika iringan pengantin Eng Tay tiba di makam Sam Pek. Eng Tay turun dari tandu dan berlutut di makam kekasihnya. Dengan menangis sedih dia berkata: "Kakak Sam Pek percayalah bahwa cintaku hanya untukmu. Aku tidak ingin menikah dengan orang lain. Jika kakak mendengarku, bawalah aku pergi bersama kakak!"
Mendadak angin bertiup sangat kencang dan hujan pun turun dengan derasnya. Di tengah suara petir yang menggelegar tiba-tiba makam Sam Pek terbelah dua dan muncullah lubang menganga di depan Eng Tay. Tanpa pikir panjang Eng Tay pun terjun ke dalam lubang tersebut tanpa sempat dicegah oleh para pengiringnya. Kemudian makam tersebut kembali menutup dan Eng Tay pun menghilang.
Suasana kembali cerah seperti tidak pernah ada kejadian apapun. Tinggallah para pengiring yang masih terkejut dengan kejadian tersebut. Hanya Lin Ce yang menangis meratapi kepergian majikannya. Tiba-tiba dari balik makam, muncullah sepasang kupu-kupu yang cantik. Mereka berputar-putar sebentar di kepala Lin Ce sebelum akhirnya terbang jauh dengan gembira. Lin Ce yakin bahwa kupu-kupu itu adalah penjelmaan roh majikannya yang telah bersatu dengan kekasihnya.
Roro Mendut
Karya YB. Mangunwijaya
Kekuasaan telah membunuh Mendut dan Pronocitro di ujung keris sakti Panglima Perang Mataram, Tumenggung Wiroguno. Sekali lagi kita melihat, absurditas cinta mati sia-sia. Sebuah tema yang terus berulang, tercampakkan dan hanya hidup dalam legenda.
Menurut cerita Romo Mangun, Mendut adalah simbol kekuatan daerah pesisir (Pantai Utara) yang ditaklukan oleh kekuasaan Mataram, simbol kerajaan dan budaya pedalaman, yang agraris dan cenderung otoritarian. Para ahli sastra, sarjana dan satrawan sepakat bahwa Mendut adalah pejuang emansipasi perempuan. Dia berani menolak hasrat berahi seorang Panglima, walaupun dengan itu, dia harus menanggung resiko membayar pajak upeti seperti layaknya sebuah daerah ataupun orang-orang yang takluk oleh kekuasaan Mataram.
Mendut hanyalah seorang anak nelayan dari desa Teluk Cikal yang kebetulan hidup dalam kekuasaan Adipati Pragolo II, sang keris penguasa Kadipaten Pathi. Dan sebelum jatuh ke tangan Tumenggung Wiroguno, Mendut telah pula diculik oleh prajurit Adipati Pragolo II, saat sedang asyik-asyiknya membantu pamannya di pesisir pantai. Mendut di bawa begitu saja karena kecantikkannya. Keceriaan remajanya dirampas dan dipingit dalam Puri Kadipaten Pathi. Tapi sebelum keremajaannya dinodai oleh Adipati Pragolo II, Kadipaten Pathi, keraton serta purinya telah habis dirangsek oleh Tumenggung Wiroguno, utusan Kerajaan Mataram. Sebab diduga Kadipaten Pathi akan memberontak terhadap kekuasaan besar Kerajaan Mataram, dengan mencoba memerdekakan diri dan enggan membayar upeti menghadap Istana Mataram di Karta.
Jadilah Mendut seperti barang pampasan perang Kerajaan Mataram. Mulanya di persembahkan pada Ingkang Sinuhun Susuhunan Hanyokro-Kusumo, Senopati Ingalogo Mataram Abdurrahman Sayyidin Panotogomo (Sultan Agung), tapi karena Tumenggung Wiroguno berkenan pada Mendut, Sultan Agung Mataram menyerahkannya pada Tumenggung Wiroguno.
Pemberontakan Mendut pada awalnya ditanggapi dengan lunak. Tapi lama kelamaan, Tumenggung merasa kesal dan jengkel. Pajak yang tadinya ditetapkan setiap bulan ditekan menjadi setiap minggu. Mendut tak kehilangan akal, kemudian menjual semua perhiasannya untuk dijadikan modal berjualan puntung rokok.
Di alun-alun Mataram Istana Karta, tepatnya di tengah pasar rakyat, Mendut membuka warung puntung rokoknya. Sambil diiringi tarian erotis penuh gerakan kebebasan ala budaya pantai utara, Mendut menghisap rokok dan bekasnya dijual pada setiap pengunjung yang mau membeli. Tentu saja harganya lebih mahal dari rokok biasa, karena rokok tersebut sudah tersentuh dan dihisap oleh Mendut, yang menurut anggapan rakyat banyak, Mendut adalah seorang Putri Selir Mataram dari Tumenggung Wiroguno.
Di pasar itulah, Mendut mengenal Pronocitro pada pandangan pertama. Cinta mulai bersemi di dada masing-masing dua insan yang sedang jatuh cinta. Pronocitro pun kemudian tahu tentang cerita Mendut sebagai Puteri Boyongan dari Kadepaten Pathi. Sedangkan Pronocitro sendiri adalah seorang pengembala yang lari dari keinginan ibunya Nyai Singa Barong, seorang saudagar armada dagang di Pekalongan, yang menginginkan putranya meneruskan bisnisnya. Terdamparlah Pronocitro di Mataram dan menemukan Mendut sebagai jodohnya.
Dengan ketampanan dan keperkasaan tubuhnya, Pronocitro akhirnya dapat masuk ke dalam Puri Wirogunan sebagai pemelihara kuda. Awalnya Wiroguno tidak mencurigai keberadaannya, sebagai kekasih gelap Den Roro Mendut, tapi akhirnya hubungan mereka berdua tercium juga oleh Wiroguno.
Suatu malam Pronocitro dan Mendut merencanakan untuk kabur, karena sebelumnya mereka sudah tahu bahwa, Wiroguno akan menangkap basah mereka saat berduaan. Dengan bantuan dayang-dayang Puri Wirogunan, yang setuju dengan hubungan Mendut-Pronocitro, akhirnya mereka berhasil mencuri start, sebelum Wiroguno dan pasukannya datang menyergap.
Wiroguno kalang-kabut dan bersama pasukannya mencoba mengejar dan menangkap mereka hidup-hidup. Setelah pencarian siang dan malam, akhirnya Mendut dan Pronocitro dapat terkejar dan tersudut di Muara sungai Oya-Opak. Mereka sudah terkepung dan sulit berkutik lagi. Namun Pronocitro dengan gagah berani tampil ke depan menghadapi seorang Panglima Mataram. Dia tahu kalau kekuatannya tidak sebanding dengan Tumenggung Wiroguno, tapi cinta telah menuntunnya untuk berani disaat-saat yang begitu mendesak. Perkelahian tak dapat dihindari dan kemenangan sudah dipastikan akan berpihak pada Wiroguno. Disodorkanlah keris sakti Wiroguno ke hadapan tubuh Pronocitro, namun secepat kilat Mendut telah berdiri tepat di hadapan Pronocitro. Keris Wiroguno tertancap menusuk jantung Mendut dan tembus ke dada Pronocitro. Mereka rubuh bersimbah darah. Tubuh mereka hanyut dihemapas ke muara sungai menuju samudera, tempat asal mereka dulu.


B.     ANALISIS
1.      Tema
Tema adalah  ide, makna cerita  gagasan  sentral atau dasar cerita , pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi penciptaan karya sastra.
Kedua novel ini sama-sama bertema wanita dan cinta.

2.      Latar/Setting
Latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita. Keberadaan elemen latar pada hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan keterkaitan dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis.
Latar cerita Roro Mendut sebagian besar adalah daerah Pathi pada masa kerajaan Mataram dan di alun-alun Mataram Istana Karta, tepatnya di tengah pasar rakyat, tempat dimana tokoh Mendut berjualan rokok dan menemukan kekasihnya Pronocitro. Sedangkan latar pada cerita Sampek Engtay lebih banyak mengambil latar pada sekolah Sung Yee dimana tokoh Eng Tay bertemu dengan tokoh Sampek.
3.      Tokoh
Sebagain tokoh – tokoh karya fiksi adalah tokoh – tokoh rekaan yang dimaksud tokoh cerita adalah individu rekaan yang mengalami cerita kendati berupa rekan atau hasil imajinasi pengarang, masalah penokohan tidak bisa dipisahkan dari suatu karya sastra dan merupakan suatu bagian yang penting dalam membangun sebuah cerita.
Kedua tokoh wanita pada novel ini sama-sama mengalami masa sulit dalam hidupnya dengan akhir sebuah kematian. Tokoh Roro Mendut adalah tokoh masyarakat yang mempertahankan nilai harga diri dan kekuatannya sebagai seorang wanita yaitu keperawanan, keibuan, jodoh, dan emansipasi wanita. Begitu pula tokoh Eng Tay pada novel Sampek Eng Tay, tokoh Eng Tay melawan hakikatnya sebagai seorang wanita demi keinginannya untuk bersekolah, serta menentang perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya padahal Eng Tay telah memiliki kekasih yaitu Sampek yang keadaan sosial mereka berbeda.



4.      Perwatakan
Watak yang tampak dari tokoh utama Eng Tay dan Mendut sama-sama keras, apalagi perjuangannya ketika dihadapi masalah yang pelik. Apapun akan dikorbankan walaupun harus dengan nyawa.
        
5.      Alur
Alur adalah cerita yang berisi kejadian, tetapi kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab – akibat, peristiwa yang disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Alur adalah tulang punggung dari sebuah cerita karena alur merupakan jalannya cerita.
Alur kedua novel ini sangat jelas. Cerita disajikan secara berturut-turut hingga sampai pada kematian mereka.

6.      Amanat
Dapat disimpulkan, kedua novel ini menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa kita boleh berkomitmen, tapi jangan sampai termakan oleh komitmen itu sendiri. Seperti cinta yang mengikat, cinta pula yang memisahkan. Seperti kesia-siaan. Namun cinta telah menyatukan mereka dalam satu nafas, kehidupan dan kematian. Sedangkan kekuasaan memang selalu menyiratkan kekuataan senjata dan darah, lalu melupakan nilai-nilai kemanusiaan tentang cinta dan kasih sayang.

C.    PEBANDINGAN
Dalam khazanah kesusastraan bangsa-bangsa di dunia ditemukan begitu banyak karya yang menunjukkan kesamaan-kesamaan. Kadang-kadang, kesamaan itu bukan saja menyangkut unsur-unsur tertentu di dalam teks, melainkan wujud teks secara keseluruhan.
Dari sering kesamaan yang terjadi, muncul tiga teori yang berhubungan dengan gejala tersebut. Teori pertama mengatakan bahwa kesamaan dimungkinkan oleh adanya proses migrasi, teori kedua oleh adanya pengaruh-memengaruhi, dan teori ketiga yaitu karena sifat “kebetulan” semata, bahwa manusia, di mana pun ia berada, selalu menghadapi persoalan kemanusiaan yang sama dalam hidupnya-pencarian Tuhan, makna cinta, keadilan, kematian, dan sebagainya. Bisa jadi hal demikian akan mengekspresikannya dalam wujud yang lebih kurang hampir sama. Karena itu, tidaklah mengherankan bila pengaruh cinta yang terjadi pada manusia di berbagai tempat, zaman, dan kebudayaan yang berjauhan kemudian melahirkan kisah dramatik Sam-pek Eng-tay (Tiongkok), dan Roro Mendut-Pronocitro (Jawa) yang, jika dilihat dari banyak segi, memperlihatkan begitu banyak kesamaan. Entah dari mana kisah-kisah itu berasal, dari induk yang sama atau, karena karya yang satu dipengaruhi oleh karya lainnya.
Dilihat dari unsur-unsur kisahannya, novel Sampek Eng Tay dan novel Roro Mendut menampakkan perbedaan yang amat signifikan. Kerena kedua karya ini ditulis pada zaman yang berlainan, Sampek Eng Tay yaitu kental dengan etnis Cina sejak tahun 1740 sedangkan Roro Mendut pada abad ke-20 yang menggambarkan bagaimana adat Jawa pada masa itu.
Konflik yang menggerakkan kedua cerita adalah nasib Sampek-Eng Tay dan Roro Mendut-Pronocitro memang sama-sama nahas dan penuh dengan romantisme, kedua pasangan tersebut mengalami kematian yang tragis akibat pertaruhan cinta. Kematian Sampek-Eng Tay dilatar belakangi oleh keadaan sosial yang terjadi, konflik Eng Tay dan Ayahnya yang menjodohkan Eng Tay dengan pemuda anak keluarga kaya ini membuat Sampek frustasi sampai akhirnya ajal menjeputnya. Eng Tay yang sangat sedih pergi kemakam Sampek, dan mengutaran perasaanya. Kuburan Sampek pun terbuka, tanpa pikir panjang Eng Tay pun terjun ke dalam lubang tersebut tanpa sempat dicegah. Kemudian makam tersebut kembali menutup dan Eng Tay pun menghilang. Lain halnya dengan kematian yang dialami oleh Roro Mendut-Pronocitro lebih  disebabkan oleh konflik pribadinya dengan Tumenggung Wiroguno yang membawa-bawa politik dan kekuasaan. Karena itu, cara mereka mati pun sungguh berbeda, Sampek-Eng Tay mati karena hati mereka yang merana akibat cinta yang tak mendapat restu karena status sosial yang berbeda, sedangkan Roro Mendut dan Pronocitro tewas tertusuk kris, akibat kekejaman orang yang tidak menyukai hubungan cinta di antara keduanya.
Demikianlah perbandingan kedua novel yang penulis buat berdasarkan pemahaman penulis atas keduanya, jika ditelusuri secara dalam maka akan banyak lagi hal-hal yang bisa kita bandingkan. Novel-novel adalah gambaran berbagai aspek kebudayaan setiap bangsa, baik yang tersurat maupun tersirat yang terdapat di dalamnya. Novel yang berlainan gendre Cina-Jawa ini sangat enak untuk dibaca karena kita bisa tahu bagaimana budaya keduanya, tentunya dapat menambah pengetahuan pembaca. Semoga perbandingan ini dapat bermanfaat dalam pembelajaran sastra bandingan pada kesempatan mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar