|
DIAN LESTARI
(A1A010049)
Dosen
Pembimbing
Drs. Amril
Canrhas, M.S.
|
|
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
|
2012
|
|
KISAH
KELUARGA JOKO PINURBO
Puisi ASU, TAHILALAT
Dan JENDELA
Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah; tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, "Asu!"
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, "Asu!"
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, "Asu itu apa, Yah?"
"Asu itu anjing yang baik hati," jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
"Coba, menurut kamu, asu itu apa?"
"Asu itu anjing yang suka minum susu," jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, "Selamat sore, asu."
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, "Selamat sore, su!"
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
"Tolong, tolong...! Anjing, anjing...!"
(2011)
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah; tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.
Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.
Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, "Asu!"
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, "Asu!"
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.
Pernah saya bertanya, "Asu itu apa, Yah?"
"Asu itu anjing yang baik hati," jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
"Coba, menurut kamu, asu itu apa?"
"Asu itu anjing yang suka minum susu," jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, "Selamat sore, asu."
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, "Selamat sore, su!"
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
"Tolong, tolong...! Anjing, anjing...!"
(2011)
:: Dokumentasi Puisi Joko Pinurbo
Pada usia lima tahun ia menemukan
tahilalat di alis ibunya,
terlindung bulu-bulu hitam lembut,
seperti cinta yang betah berjaga
di tempat yang tak diketahui mata.
Kadang tahilalat itu memancarkan cahaya
selagi si ibu lelap tidurnya.
Dengan girang ia mengecupnya:
"Selamat malam, kunang-kunangku."
Ketika ia beranjak remaja
dan beban hidup bertambah berat saja,
tahilalat itu hijrah ke tengkuk ibunya,
tertutup rambut yang mulai layu,
seperti doa yang merapalkan diri
di tempat yang hanya diketahui hati.
Disingkapnya rambut si ibu,
diciumnya tahilalat itu: "Maaf,
sering lupa kuucapkan amin untukmu."
Akhirnya ia benar-benar sudah dewasa,
sudah siap meninggalkan rumah ibunya,
dan ia tak tahu tahilalat itu pindah ke mana.
"Jika kau menemukannya,
masihkah kau akan mengecupnya,
akankah kau menciumnya?" si ibu bertanya.
Ah, tahilalat itu telah hinggap
dan melekat di puting susu ibunya.
(2011)
tahilalat di alis ibunya,
terlindung bulu-bulu hitam lembut,
seperti cinta yang betah berjaga
di tempat yang tak diketahui mata.
Kadang tahilalat itu memancarkan cahaya
selagi si ibu lelap tidurnya.
Dengan girang ia mengecupnya:
"Selamat malam, kunang-kunangku."
Ketika ia beranjak remaja
dan beban hidup bertambah berat saja,
tahilalat itu hijrah ke tengkuk ibunya,
tertutup rambut yang mulai layu,
seperti doa yang merapalkan diri
di tempat yang hanya diketahui hati.
Disingkapnya rambut si ibu,
diciumnya tahilalat itu: "Maaf,
sering lupa kuucapkan amin untukmu."
Akhirnya ia benar-benar sudah dewasa,
sudah siap meninggalkan rumah ibunya,
dan ia tak tahu tahilalat itu pindah ke mana.
"Jika kau menemukannya,
masihkah kau akan mengecupnya,
akankah kau menciumnya?" si ibu bertanya.
Ah, tahilalat itu telah hinggap
dan melekat di puting susu ibunya.
(2011)
:: Dokumentasi Puisi Joko Pinurbo
Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.
Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….
Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuurrr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.
Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.
“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”
Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang
dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.
(2010)
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.
Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….
Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuurrr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.
Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.
“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”
Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang
dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.
(2010)
:: Dokumentasi Puisi Joko Pinurbo
Pada puisi pertama, Asu
yang membuat menarik dan unik adalah pada penulisan judul “Asu”. Tema-nya saya anggap
baru, karena saya sulit temukan kata “asu” dalam sajak-sajak sebelumnya. “ Asu”
di dalam puisi ini yaitu anjing yang baik hati. Ajing yang selalu disebut
namanya. Anjing yang memiliki derajat yang lebih dibanding ajing-anjing
lainnya. Puisi ini mencerikan kedekatan anak kepada ayahnya. Ada interaksi
antara anak dan Ayah.
Pernah saya bertanya, "Asu itu apa, Yah?"
"Asu itu anjing yang baik hati," jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
"Coba, menurut kamu, asu itu apa?"
"Asu itu anjing yang suka minum susu," jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, "Selamat sore, asu."
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, "Selamat sore, su!"
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
"Tolong, tolong...! Anjing, anjing...!"
"Asu itu anjing yang baik hati," jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
"Coba, menurut kamu, asu itu apa?"
"Asu itu anjing yang suka minum susu," jawab saya.
Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, "Selamat sore, asu."
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, "Selamat sore, su!"
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
"Tolong, tolong...! Anjing, anjing...!"
Kutipan
puisi diatas yang membuat lucu adalah ketika “saya” berbicara kepada Anjing dan
memanggil Anjing tersebut “Asu”. Anjing
itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Pada puisi kedua “Tahilalat”. Tahilalat
di sini adalah sebuah kehidupan, kehidupan dengan beban seorang anak yang masi
kecil. Anak itu melihat beban ibunya, namun tidak menjadi beban bagi sang anak.
Tapi, sudah menjadi beban si ibu, karena ada pada diri ibu. Saat kecil,
tahilalat itu sesuatu mainan dan itulah mainannya dari wajah seorang ibu muda
yang bahagia pada keluarganya sehingga
kadang tahilalat itu bak bersinar. Kemudian saat bertambah usia menjadi remaja,
beban hidup mulai bertambah dan juga mempengaruhi kondisi fisik sang ibu,
tahilalat tela berpindah dan sang anak tetap menciumnya (mungkin) agar beban
hidup itu dapat berbagi. Hingga akhirnya saat diri sang anak telah dewasa dan
sudah sepatutnya untuk keluar dari rumah untuk mencari nafkah (untuk sendiri
atau dengan sang ibu).
"Jika
kau menemukannya,
masihkah kau akan mengecupnya,
akankah kau menciumnya?" si ibu bertanya.
Ah, tahilalat itu telah hinggap
dan melekat di puting susu ibunya.
masihkah kau akan mengecupnya,
akankah kau menciumnya?" si ibu bertanya.
Ah, tahilalat itu telah hinggap
dan melekat di puting susu ibunya.
Pada
bait-bait terakhir sang ibu memberitahu kapada anaknya bahwa semakin bertambah
besar usia kita, semakin besar beban kita terhadap suatu hal. Dan bagaimana
kita menyimpannya ditemat yang paling sensitive dan hanya anaklah yang tahu. Nah inilah dilema yang dilempar oleh Penulis (mas Joko Pinurbo), lha
kok di puting susu.Secara logika kasat pikiran, hal yang terpikirkan adalah menyusu
lagi padahal dia sudah siap beranjak akan pergi meninggalkan rumah untuk
bekerja atau apapun. Dengan menyusu lagi, berarti dia kembali kedalam dekapan
sang ibu yang notabene adalah tempat ternyaman dan (mungkin) teraman di dunia.
Tak perlu lagi bekerja karena kebutuhan fisiknya telah tercukupi, tapi dengan
demikian apakah dia bisa menjadi seorang dewasa yang wajar dan sesungguhnya?
Bukankah sudah saatnya dia untuk mulai mandiri karena tak selamanya akan berada
dalam keadaan demikian nyaman itu, bisa jadi hanya sebentar lagi saja sang ibu
dapat mendampingi sebelum Kematian merenggut ibu dari sisinya.
Hal lain yang
terpikirkan adalah (ini "piktor"), tak pantas karena seorang dewasa
dapat timbul syahwat dari mencium atau mengecup puting susu wanita (bahkan mungkin
itu ibunya) dan bukan kahini hal sangat-sangat-sangat tercela, nistabahkan.
Jadi jawabannya
adalah: "tidak ibu, aku akan mengecup peluh-peluh perjuanganku dan mencium
nafas keberhasilanku yang akan kupersembahkan kepadamu"
Puisi ketiga “Jendela”.
JENDELA puisi ini mengandung amanat tentang perjuangan sebuah keluarga kecil
yang terkondisi dalam kesahajaan hidup namun penuh dengan rasa hangat keakraban
hubungan harmonis antara si Ibu dan anaknya yang beranjak dewasa. Tampak
digambarkan dalam suasana akrab dari kebiasaan yang dilakukan sejak
lama.(,byuuurrrr….) digunakan penyair memperkuat suasana ketakjuban yang
tersimpan dalam peristiwa gerak benda alam yang langka tersebut.
Yang menarik disini mengapa
judulnya “Jendela”
Di
jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.
Secara implisit bait puisi
JENDELA Joko Pinurbo ini juga menyimpan suatu isyarat tentang waktu yang dapat
menampilkan kejadian-kejadian tak terduga dalam hidup, yang bisa hadir hingga
membekas dalam jiwa, berwujud menjadi kenangan tak terlupakan.
Karakter ketiga puisi ini adalah
sama-sama menceritakan dua orang yang saling berhubungan dekat, berupa keluarga
seperti kedekatan anak dengan bapaknya, dan kedekatan anak dengan ibunya. Yang
begitu akrab, sehingga apa yang telah di alami, dipelajari, dirasakan
diceritakan kepada anaknya. Bahkan beban pun mereka jalani dan mereka rasakan
berdua. Dari ketiga puisi tedapat kejutan-kejutan dapat dilihat dari ketiga
judulnya, ASU, TAHILALAT dan JENDELA. Apa bila tidak kita telusuri, kita tidak
akan tahu apa isi yang sebenarnya pada puisi itu. Karena judul tersebut dapat
menipu dan tidak menujukkan unsur kedekatan kekeluargaannya yang beitu kental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar