Jumat, 30 November 2012

Analisis Puisi JOKO PINURBO

DIAN LESTARI
(A1A010049)

Dosen Pembimbing
Drs. Amril Canrhas, M.S.
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU

2012




KISAH KELUARGA JOKO PINURBO

                                                                                    Puisi ASU, TAHILALAT
Dan JENDELA








Di jalan kecil menuju kuburan Ayah di atas bukit
saya berpapasan dengan anjing besar
yang melaju dari arah yang saya tuju.
Matanya merah; tatapannya yang kidal
membuat saya mundur beberapa jengkal.

Gawat. Sebulan terakhir ini sudah banyak orang
menjadi korban gigit anjing gila.
Mereka diserang demam berkepanjangan,
bahkan ada yang sampai kesurupan.

Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah.
Dulu saya sering menemani Ayah menulis.
Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul
mesin ketiknya dan mengumpat, "Asu!"
Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,
Ayah tersenyum senang dan berseru, "Asu!"
Saat bertemu temannya di jalan,
Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu.

Pernah saya bertanya, "Asu itu apa, Yah?"
"Asu itu anjing yang baik hati," jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
"Coba, menurut kamu, asu itu apa?"
"Asu itu anjing yang suka minum susu," jawab saya.

Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, "Selamat sore, asu."
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, "Selamat sore, su!"
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
"Tolong, tolong...! Anjing, anjing...!"

(2011)
:: Dokumentasi Puisi Joko Pinurbo







Pada usia lima tahun ia menemukan
tahilalat di alis ibunya,
terlindung bulu-bulu hitam lembut,

seperti cinta yang betah berjaga
di tempat yang tak diketahui mata.

Kadang tahilalat itu memancarkan cahaya
selagi si ibu lelap tidurnya.
Dengan girang ia mengecupnya:
"Selamat malam, kunang-kunangku."

Ketika ia beranjak remaja
dan beban hidup bertambah berat saja,
tahilalat itu hijrah ke tengkuk ibunya,
tertutup rambut yang mulai layu,

seperti doa yang merapalkan diri
di tempat yang hanya diketahui hati.

Disingkapnya rambut si ibu,
diciumnya tahilalat itu: "Maaf,
sering lupa kuucapkan amin untukmu."

Akhirnya ia benar-benar sudah dewasa,
sudah siap meninggalkan rumah ibunya,
dan ia tak tahu tahilalat itu pindah ke mana.

"Jika kau menemukannya,
masihkah kau akan mengecupnya,
akankah kau menciumnya?" si ibu bertanya.

Ah, tahilalat itu telah hinggap
dan melekat di puting susu ibunya.

(2011)
:: Dokumentasi Puisi Joko Pinurbo


                                                                                                           



Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….

Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuurrr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.

“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”

Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang
dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.

(2010)
:: Dokumentasi Puisi Joko Pinurbo








Pada puisi pertama, Asu yang membuat menarik dan unik adalah pada penulisan judul “Asu”. Tema-nya saya anggap baru, karena saya sulit temukan kata “asu” dalam sajak-sajak sebelumnya. “ Asu” di dalam puisi ini yaitu anjing yang baik hati. Ajing yang selalu disebut namanya. Anjing yang memiliki derajat yang lebih dibanding ajing-anjing lainnya. Puisi ini mencerikan kedekatan anak kepada ayahnya. Ada interaksi antara anak dan Ayah.
Pernah saya bertanya, "Asu itu apa, Yah?"
"Asu itu anjing yang baik hati," jawab Ayah.
Kemudian ganti saya ditanya,
"Coba, menurut kamu, asu itu apa?"
"Asu itu anjing yang suka minum susu," jawab saya.

Sementara saya melangkah mundur,
anjing itu maju terus dengan nyalang.
Demi Ayah, saya ucapkan salam, "Selamat sore, asu."
Ia kaget. Saya ulangi salam saya, "Selamat sore, su!"
Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
Dari belakang sana terdengar teriakan,
"Tolong, tolong...! Anjing, anjing...!"

            Kutipan puisi diatas yang membuat lucu adalah  ketika “saya” berbicara kepada Anjing dan memanggil Anjing tersebut “Asu”. Anjing itu pun minggir, menyilakan saya lanjut jalan.
            Pada puisi kedua “Tahilalat”. Tahilalat di sini adalah sebuah kehidupan, kehidupan dengan beban seorang anak yang masi kecil. Anak itu melihat beban ibunya, namun tidak menjadi beban bagi sang anak. Tapi, sudah menjadi beban si ibu, karena ada pada diri ibu. Saat kecil, tahilalat itu sesuatu mainan dan itulah mainannya dari wajah seorang ibu muda yang bahagia pada keluarganya  sehingga kadang tahilalat itu bak bersinar. Kemudian saat bertambah usia menjadi remaja, beban hidup mulai bertambah dan juga mempengaruhi kondisi fisik sang ibu, tahilalat tela berpindah dan sang anak tetap menciumnya (mungkin) agar beban hidup itu dapat berbagi. Hingga akhirnya saat diri sang anak telah dewasa dan sudah sepatutnya untuk keluar dari rumah untuk mencari nafkah (untuk sendiri atau dengan sang ibu).
"Jika kau menemukannya,
masihkah kau akan mengecupnya,
akankah kau menciumnya?" si ibu bertanya.

Ah, tahilalat itu telah hinggap
dan melekat di puting susu ibunya.
Pada bait-bait terakhir sang ibu memberitahu kapada anaknya bahwa semakin bertambah besar usia kita, semakin besar beban kita terhadap suatu hal. Dan bagaimana kita menyimpannya ditemat yang paling sensitive dan hanya anaklah yang tahu. Nah inilah dilema yang dilempar oleh Penulis (mas Joko Pinurbo), lha kok di puting susu.Secara logika kasat pikiran, hal yang terpikirkan adalah menyusu lagi padahal dia sudah siap beranjak akan pergi meninggalkan rumah untuk bekerja atau apapun. Dengan menyusu lagi, berarti dia kembali kedalam dekapan sang ibu yang notabene adalah tempat ternyaman dan (mungkin) teraman di dunia. Tak perlu lagi bekerja karena kebutuhan fisiknya telah tercukupi, tapi dengan demikian apakah dia bisa menjadi seorang dewasa yang wajar dan sesungguhnya? Bukankah sudah saatnya dia untuk mulai mandiri karena tak selamanya akan berada dalam keadaan demikian nyaman itu, bisa jadi hanya sebentar lagi saja sang ibu dapat mendampingi sebelum Kematian merenggut ibu dari sisinya.

Hal lain yang terpikirkan adalah (ini "piktor"), tak pantas karena seorang dewasa dapat timbul syahwat dari mencium atau mengecup puting susu wanita (bahkan mungkin itu ibunya) dan bukan kahini hal sangat-sangat-sangat tercela, nistabahkan.

Jadi jawabannya adalah: "tidak ibu, aku akan mengecup peluh-peluh perjuanganku dan mencium nafas keberhasilanku yang akan kupersembahkan kepadamu"


Puisi ketiga “Jendela”. JENDELA puisi ini mengandung amanat tentang perjuangan sebuah keluarga kecil yang terkondisi dalam kesahajaan hidup namun penuh dengan rasa hangat keakraban hubungan harmonis antara si Ibu dan anaknya yang beranjak dewasa. Tampak digambarkan dalam suasana akrab dari kebiasaan yang dilakukan sejak lama.(,byuuurrrr….) digunakan penyair memperkuat suasana ketakjuban yang tersimpan dalam peristiwa gerak benda alam yang langka tersebut.
Yang menarik disini mengapa judulnya “Jendela”
Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.

Secara implisit bait puisi JENDELA Joko Pinurbo ini juga menyimpan suatu isyarat tentang waktu yang dapat menampilkan kejadian-kejadian tak terduga dalam hidup, yang bisa hadir hingga membekas dalam jiwa, berwujud menjadi kenangan tak terlupakan.
            Karakter ketiga puisi ini adalah sama-sama menceritakan dua orang yang saling berhubungan dekat, berupa keluarga seperti kedekatan anak dengan bapaknya, dan kedekatan anak dengan ibunya. Yang begitu akrab, sehingga apa yang telah di alami, dipelajari, dirasakan diceritakan kepada anaknya. Bahkan beban pun mereka jalani dan mereka rasakan berdua. Dari ketiga puisi tedapat kejutan-kejutan dapat dilihat dari ketiga judulnya, ASU, TAHILALAT dan JENDELA. Apa bila tidak kita telusuri, kita tidak akan tahu apa isi yang sebenarnya pada puisi itu. Karena judul tersebut dapat menipu dan tidak menujukkan unsur kedekatan kekeluargaannya yang beitu kental.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar