Selasa, 11 Desember 2012

Cahaya Keikhlasan

Mengingat waktu yang terus menagih janjinya.
Waktu yang selalu konsukuen, berputar detik demi detik tanpa ragu,
Hingga sampai pada satu tujuan terbesar kita.
Di mana disaat itu kita tak mampu memilih.
Hanya beberapa atau semua mimpi kita yang terwujud. 
Semoga senantiasa kebahagian tersungging dibibir kita.
Jangan pernah merasa kecewa, karena kita tetap bersama.
Biarlah angin membawa peluh.
Biarlah sesak mengering diterik.
Kita pasti setia menggengam janji. ^_^


My Love 121212
02 Februari 2012

Aliran Transformasi


BAB 1
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Bahasa itu bersifat dinamis, bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran apa saja : fonologi, morfologi, sintaksis, semantic, dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja ada kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam, tidak digunakan lagi. Meskipun bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karena bahasa itu digunakan oleh seseorang yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam
Teori linguistik adalah teori yang dikemukakan oleh aliran linguistik tertentu dan aliran linguistik yang memiliki corak teori tertentu. Kriteria yang dipakai untuk membedakan dan mengelompokkan teori/aliran linguistik adalah kekhususan cara memahami bahasa dan corak analisisnya.
Ada empat teori besar yang dikategorikan berdasarkan kriteria tersebut, yang pertama adalah teori/aliran tradisional yang berdasarkan pada pola pemikiran filosofis dan bermula dari Plato dan Aristoteles. Kategori yang kedua adalah teori/aliran struktural yang berlandaskan faham behaviorisme yang beranggapan bahwa jiwa seseorang dan hakikat sesuatu hanya bisa dideteksi lewat tingkah laku dan perwujudan lahiriahnya yang tampak, sehingga aliran struktural mengamati bahasa dan hakikatnya dalam perwujudan sebagai ujar. Kategori ketiga adalah teori/aliran transformasional yang dipelopori oleh Noam Chomsky dan ini merupakan aksi penolakan atas konsep strukturalisme bahwa bahasa adalah faktor kebiasaan. Kategori yang keempat adalah aliran/teori tagmemik dan berangkat dari konsep tagmem yang merupakan bagian dari konstruksi gramatikal dengan empat macam kelengkapan spesifikasi ciri, yakni: slot, kelas, peran, dan kohesi. Ada satu kategori lagi, yaitu kategori aliran lain-lain yang berisi aliran yang tidak terlalu terkenal seperti teori/aliran Bloomfieldian, Stratifikasi, Kopenhagen, Praha, London, dan lain-lain, namun kebanyakan teori tersebut juga sudah tercangkup dalam teori strukturalisme.
B.      RUMUSAN MASALAH

1.    Apa Ciri-Ciri Aliran Transformasi?
2.    Apa Keunggulan dari Aliran Transformasi?
3.    Apa Kelemahan dari Aliran Transformasi?
4.    Bagaimana Analisis aliran Transformasi?
5.    Bagaiman Transformasi Generatif itu?

C.      TUJUAN
1.    Mengetahui Ciri-Ciri Aliran Transformasi
2.    Mengetahui Keunggulan dari Aliran Transformasi
3.    Memahami Kelemahan dari Aliran Transformasi
4.    Mnegetahui Analisis aliran Transformasi
5.    Mengetahui Transformasi Generatif


BAB 2
PEMBAHASAN
Aliran transformasi pasti tidak pernah lepas dari nama Avram Noam Chomsky. Professor linguistik dari Institut teknologi Massachusetts yang lahir di Philadelphia, Amerika Serikat pada tanggal 7 Desember 1928 tersebut, dikenal sebagai penggagas aliran transformasi. Dalam bukunya yang berjudul Syntatic Structure pada tahun 1957, Chomsky mengembangkan model tata bahasa yaitu transformational generative grammar, dalam bahasa Indonesia disebut tata bahasa transformasi atau bahasa generatif. Aliran ini muncul menentang aliran strukturalis yang menyatakan bahwa bahasa merupakan kebiasaan.

Pelopor aliran ini adalah N. Chomsky dengan karyanya “Syntactic Structure”(1957) dan diikuti oleh tokoh-tokoh seperti Postal, Fodor, Hale, Palmatier, Lyons, Katz, Allen, van Buren, R. D. King, R.A. Jacobs, J. Green, dll.

Aliran ini pada mulanya hanya berbicara transformasi pada level kalimat tetapi kemudian diterapkan dalam tataran lain seperti morfologi dan fonologi.

Tujuan penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. .Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna maka haruslah dapat menggambarkan bunyi dan arti dalam bentuk kaidah – kaidah yang tepat dan jelas. Syarat untuk memenuhi teori dari bahasa dan tata bahasa yaitu :

1. kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat – buat.
2. tata bahasa tersebut terus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.

Kemudian disusul dengan dengan terbitnya buku yang berjudul aspect of the theory of syntax, dalam buku ini Chomsky menyempurnakan teorinya mengenai sintaksis dengan mengadakan beberapa perubahan yang prinsipil. Tahun 1965 dikenal dengan standar teori, kemudian tahun 1972 diberi nama Extended Standard Theory, tahun 1975 diberi nama Revised Extended Standard Theory. Terakhir buku ini direvisi dengan nama Government and Binding Theory.

Dari kesimpulan tersebut terdiri dari 3 komponen :
1. komponen sintetik
2. komponen semantik
3. komponen fologis

Aliran ini muncul menentang aliran strukturalis yang menyatakan bahwa bahasa merupakan kebiasaan. Transformasi pada mulanya hanya berbicara transformasi pada level kalimat tetapi kemudian diterapkan dalam tataran lain seperti morfologi dan fonologi. Konsep language dan paroleh dari De Sausure, Chomsky membedakan adanya kemampuan (kompeten) dan perbuatan berbahasa (performance). Jadi objeknya adalah kemampuan. Seorang peneliti bahasa harus mampu menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, yang sebagian besar, barangkali, belum pernah didengarnya atau dilihatnya. Kemampuan membuat kalimat – kalimat baru disebut aspek kreatif bahasa Dalam buku Tata Bahasa Transformasi lahur bersamaan dengan terbitnya buku Syntatic Structure tahun 1957. buku ini sering disebut “ Tata Bahasa Transformasi Klasik .

Menurut Judith Green dalam bukunya yang berjudul op cit, menerangkan bahwa teori Chomsky mengenai generative transformational grammer adalah yang pertama memaksa ahli-ahli psikologi untuk mempertimbangkan kembali keseluruhan pendekatan mereka terhadap studi; tingkah laku bahasa, dan memaklumkan revolusi psikolinguistik.


A.     CIRI-CIRI ALIRAN TRANSFORMASI
  1. Berdasarkan faham mentalistik. Aliran ini meganngap bahasa bukan hanya proses rangsang-tanggap akan tetapi merupakan proses kejiwaan. Aliran ini sagat erat dengan psikolinguistik.
  2. Bahasa merupakan innateBahasa merupakan faktor innate(keturunan/warisan)
  3. Bahasa terdiri dari lapis dalam dan lapis permukaan.Teori ini memisah bahasa menjadi dua lapis yaitu deep structure dan surface structure. Lapis batin merupakan tempat terjadinya proses berbahasa yang sebenarnya secara mentalistik sedangkan lapis permukaan adalah wujud lahiriah yang ditransformasi dari lapis batin.
  4. Bahasa terdiri dari unsur competent dan performance Linguistic competent atau kemampuan linguistik merupakan penegtahuan seseorang tentang bahasanya termasuk kaidah-kaidah di dalamnya. Linguistic performance atau performansi linguistik adalah keterampilan seseorang menggunakan bahasa.
  5. Analisis bahasa bertolak dari kalimat.
  6. Penerapan kaidah bahasa bersifat kreatif. Ciri ini menentang anggapan kaum struktural yang fanatik terhadap standar keumuman. Bagi kaum tranformasi masalah umum tidak umum bukan suatu persoalan yang terpenting adalah kaidah.
  7. Membedakan kalimat inti dan kalimat transformasi.Kalimat inti merupakan kaliamt yang belum dikenai transformasi sedangkan kalimat transformasi merupakan kalimat yang sudah dikenai kaidah transformasi yang ciri-cirinya yaitu lengkap, simpel, statemen, dan aktif. Dalam pertumbuhan selanjutnya ciri itu ditambah runtut dan positif.
  8. Analisis diwujudkan dalam diagram pohon dan rumus. Analisis dalam teori ini dimulai dari struktur kalimat lalu turun ke frase menjadi frase benda (NP) dan frase kerja (VP) kemudian dari frase turun ke kata.
  9. Gramatikal bersifat generatif.Bertolak dari teori yang dinamakan tata bahasa generatif tansformasi (TGT).


B.      KEUNGGULAN ALIRAN TRANSFORMASI
  1. Proses berbahasa merupakan proses kejiwaan buakan fisik.
  2. Secara tegas memisah pengetahuan kebahasaan dengan keterampilan berbahasa (linguistic competent dan linguistic performance)
  3. Dapat membentuk konstruksi-konstruksi lain secara kreatif berdasarkan kaidah yang ada.
  4. Dengan pembedaan kalimat inti dan transformasi telah dapat dipilah antara substansi dan perwujudan.
  5. dapat menghasilkan kalimat yang tak terhingga banyaknya karena gramatiknya bersifat generatif.
C.      KELEMAHAN ALIRAN TRANSFORMASI
  1. Tidak mengakui eksistensi klausa sehingga tidak dapat memilah konsep klausa dan kalimat
  2. Bahasa merupakan innate walaupun manusia memiliki innate untuk berbahasa tetapi tanpa dibiasakan atau dilatih mustahil akan bisa.
  3. Setiap kebahasaan selalu dikembalikan kepada deep structure
D.     ANALISIS ALIRAN TRANSFORMASI

·         Menyimpulkan bahasa sebagai peggunaan simbol yang tak terhingga dengan alat yang terbatas.
·         Menegaskan harus adanya aturan gramatika tertentu yang menyeluruh dan bisa menghasilkan kalimat-kalimat gramatik yang mungkin ada.
·         Membedakan kalimat dasar (sederhana, aktif, pernyataan) dengan kalimat transformasi (majemuk, pasif, pernyataan).
·         Menegaskan bahwa setiap orang lahir dengan dianugerahi kemampuan berbahasa (innate ability).
·         Struktur dalam (deep structure) adalah struktur dasar tapi tak teramati, yang ada dalam pikiran si pembicara / penanggap tutur dan dengan competencenya mereka mentransformasikan struktur dasar tadi ke dalam struktur luar (surface structure), yaitu ujaran dan tulisan. Kalimat ujaran tersebut merupakan performancenya.
·         Menganggap kegiatan bahasa sebagai tingkah laku yang dikendalikan aturan-aturan, bebas dari stimulus. Aturan-aturan ini begitu ampuh hingga membuat penutur asli mampu menyusun dan mengerti kalimat-kalimat baru yang belum pernah dibuat dan didengarnya.
·         Menyatakan pentingnya pelibatsertaan makna dalam menyusun analisis gramatika bahasa.

E.      TRANFORMASI GENERATIF

1. Rumus Struktur Frasa
Rumus ini ialah rumus yang menulis kembali lambang-lambang bukan terminal, iaitu perkataan. Contoh-contoh rumus struktur frasa adalah seperti yang berikut:
a) A FN + FK
b) FK K + FN
c) FN N + petunjuk
d) K baca
e) Penunjuk itu
f) N budak, buku
Rumus-rumus di atas akan menerbitkan kalimat Budak itu membaca buku.

2. Rumus-rumus Transformasi
Rumus ini mengambil kalimat yang dihasilkan oleh rumus struktur frasa seperti yang terdapat dalam rumus di atas sebagai input dan memindahkan, menggugurkan, dan menyambungkan unsur-unsur tertentu dalam kalimat tadi. Berbeda dengan rumus struktur frasa yang mempunyai susunan yang bebas, rumus-rumus transformasi disusun mengikut susunan tertentu. Susunan ini penting untuk menghasilkan kalimat- kalimat yang gramatis. Rumus transformasi dianggap penting untuk memperlihatkan hubungan sintaksis yang terdapat di antara dua struktur yang berbeda, misalnya antara kalimat aktif dengan kalimat pasif yang berkut:

1. a) Ahmad membaca buku itu.
b) Buku itu dibaca oleh Ahmad.

2. a) Kucing mengejar tikus.
b) Tikus dikejar oleh kucing.

Secara kasar rumus pasif mengatakan bahawa :
Sekiranya A 1 merupakan kalimat gramatis yang berbentuk FN 1–Kb –K – FN 2 maka urutan yang berbentuk FN – Kb –K – oleh + FN 1 yang dihasilkan dari padanya juga merupakan kalimat gramatis. Antara alasan yang dikemukakan untuk menunjukkan bahawa kalimat pasif diterbitkan daripada kalimat aktif ialah hampir semua kalimat aktif mempunyai kalimat pasifnya. Juga dengan menganggap kalimat pasif sebagai transformasi daripada kalimat aktif, kita tidak perlu menyatakan syarat-syarat sesuatu frasa nama. Antara alasan yang dikemukakan untuk menunjukkan bahawa kalimat pasif diterbitkan daripada kalimat aktif ialah hampir semua kalimat aktif mempunyai kalimat pasifnya. Juga dengan menganggap kalimat pasif sebagai transformasi daripada kalimat aktif, kita tidak perlu menyatakan syarat-syarat sesuatu frasa nama berulang-ulang. Kita hanya perlu menyatakannya sekali dalam kalimat aktif dan syarat ini dikekalkan dalam kalimat pasifnya. Contoh :
3 a) Rosnah minum air
 b) Air diminum oleh Rosnah.

4 a)* Baju mencuci saya
              b)* Saya dicuci oleh baju.

Transformasi pasif ini dinamakan transformasi opsional atau pilihan kerana ia tidak semestinya berlaku. Kita mempunyai pilihan sama ada untuk mengaplikasikannya atau tidak. Kalau tidak mahu mengaplikasikannya, kita masih dapat ayat yang gramatis. Ini berbeda dengan apa yang dikenal sebagai transformasi wajib yaitu transformasi yang mesti berlaku untuk membentuk kalimat yang gramatis. Kalau transformasi wajib tidak diaplikasikan hasilnya ialah kalimat yang tidak gramatis. kalimat 5 dan 6 merupakan kalimat yang tidak gramatis kerana transformasi yang menambahkan imbuhan yang sesuai adalah transformasi wajib dalam bahasa Melayu.

5 * Dia mencerita persoalan itu kepada saya.

6 * Ini menunjuk bahawa persoalan itu tidak benar.

Contoh-contoh transformasi yang lain termasuk kalimat tanya, kalima negatif, dan sebagainya.


BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN

Aliran transformasi pasti tidak pernah lepas dari nama Avram Noam Chomsky. Professor linguistik dari Institut teknologi Massachusetts yang lahir di Philadelphia, Amerika Serikat pada tanggal 7 Desember 1928 tersebut, dikenal sebagai penggagas aliran transformasi.

Aliran ini muncul menentang aliran strukturalis yang menyatakan bahwa bahasa merupakan kebiasaan. Transformasi pada mulanya hanya berbicara transformasi pada level kalimat tetapi kemudian diterapkan dalam tataran lain seperti morfologi dan fonologi.

Berdasarkan faham mentalistik. Aliran ini menganggap bahasa bukan hanya proses rangsang-tanggap akan tetapi merupakan proses kejiwaan. Aliran ini sagat erat dengan psikolinguisti

Proses berbahasa merupakan proses kejiwaan bukan fisik. Secara tegas memisah pengetahuan kebahasaan dengan keterampilan berbahasa (linguistic competent dan linguistic performance). Dapat membentuk konstruksi-konstruksi lain secara kreatif berdasarkan kaidah yang ada. Dengan pembedaan kalimat inti dan transformasi telah dapat dipilah antara substansi dan perwujudan. Dapat menghasilkan kalimat yang tak terhingga banyaknya karena gramatiknya bersifat generatif.

Aliran transformasi tidak mengakui eksistensi klausa sehingga tidak dapat memilah konsep klausa dan kalimat. Bahasa merupakan innate walaupun manusia memiliki innate untuk berbahasa tetapi tanpa dibiasakan atau dilatih mustahil akan bisa. Setiap kebahasaan selalu dikembalikan kepada deep structure

Minggu, 09 Desember 2012

KRITIK SASTRA AKADEMIK Oleh: Dian Lestari


BAB 1
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kritik sastra diharapkan bisa melahirkan kritikan yang mengandung nilai-nilai baik buruknya, tinggi rendah mutu dari suatu karya sastra. Secara garis besar kritik sastra itu terbagi kedalam 2 kategori yaitu, kategori kritik sastra akademis dan kritik sastra umum. Sebenarnya keduanya sama-sama kritik, akan tetapi perbedaannya terletak pada metodologi-metodologi yang dipakai dari kedua krtik tersebut. Kritik sastra umum adalah kritik yang bersifat public yang bisa diapresiasikan untuk semua khalayak dan masyarakat luas. Biasanya kritik ini muncul didalam media-media massa berbentuk resensi, artikel dan yang lain-lain. Semua orang pun bisa menjadi seorang kritikus/para pengapresiasi kalau dilihat dari wilayah kritik sastra umum, meskipun begitu para pengkritik ini juga harus sesuai dengan koridor teori kritik sastra yang bisa membangun, tidak mencaci, dan tidak membaur kedalam hal yang jauh dari yang dikritik, dan juga bisa mengekspresikan tujuan pengarang lewat teks. Berbeda dengan kritik sastra akademis yang lebih bersifat kritik alamiah, dengan kata lain setiap kritikan yang dilontarkan kritikus harus disertai dengan alasan pertanggungjawaban. Artinya ia bisa diterima berdasarkan ketentuan ilmiah. Sesuai dengan kerangka teoritis dan metodologi pengungkapan nilai-nilai yang dipakai.
Namun akhir-akhir ini peran kritik sastra akademis yang diharapkan bisa memberikan angin segar terhadap kritik-kritik yang bersifat objektif, kritikus tidak dari orang yang mendalami bidangnya ataupun dari kritik sastra yang kurang ilmiah. Tenyata masih banyak dikeluhkan.
Menurut Subagio Sastrowardoyo:
“Tidak sedikit peminat sastra yang merasa kecewa melihat perkembangan kritik sastra dewasa ini, khususnya yang berlaku dan dilakukan di lingkungan akademis. Yang diharapkannya dari kritik sastra adalah suatu kritik, yakni suatu tanggapan yang mengandung penilaian tentang baik-buruk, tinggi-rendah mutu dan berhasil-tidaknya karya sastra yang konkret dihadapi penelaah. Harapan itu tidak terkabul karena yang disibukkan para dosen dan mahasiswa perguruan tinggi adalah pemahaman berbagai teori sastra modern yang kebanyakan bersifat formalitas.”
Polemik tentang peran kritik sastra akademis bukan hanya terjadi sekarang, hal tersebut sudah ada dari sejak berkembangnya sastra Indonesia modern sekitar tahun 1920 khususnya ketika polemik kritik rawamangun versus Ganzheit. Namun hal yang seperti ini menjadi perbincangan hangat lagi bagi para sastrawan untuk mencari tepian perbincangan panjang tentang peran krtik sastra akademis.
A. Theuww berpendapat bahwa teori-teori yang berasal dari barat banyak digunakan dalam mengkritik karya-karya sastra daripada teori-teori sastra Indonesia yang ada, bahkan diatas dikatakan bahwa teori sastra Indonesia sudah ketinggalan zaman, mungkin secara tidak langsung teori sastra Indonesia sudah jarang dipakai dalam dunia pengkritikan. Oleh karena itu dengan adanya teori-teori sastra yang berasal dari barat seakan-akan menjadi suntikan segar bagi dunia kritik sastra di Indonesia. khususnya didunia akademik yang diharapkan akan mencetak seorang kritikus yang handal dan mempunyai interpretasi bagus mengenai pemahaman karya sastra
B.     RUMUSAN MASALAH
Rumusan masala pada makalah ini adalah:
·           Bagaimana kritik akademik itu?
·           Bagaimana kritik sastra akademik dan kritik sastra sastrawan itu?
·           Apa kritik objektif itu?
·           Bagaimana contoh kritik akademik?

C.    TUJUAN
Tujuan yang hendak dicapai makalah ini adalah sebagai berikut:
·      Menawarkan kepada pembaca tentang pentingnya kritik sastra.
·      Mengetahui kritik akademik
·      Mengetahui kritik sastra akademik dan kritik sastra sastrawan
·      Mengetahui kritik objektif
·      Paham bagaiman contoh kritik akademik
·      Sebagai pembelajaran dan pengetahuan baru
*     
BAB 2
PEMBAHASAN

A.    KRITIK AKADEMIK

Istilah kritik sastra akademik, atau yang sering diistilahkan pula dengan kritik ilmiah sering ditujukan pada kritik sastra yang ditulis dalam pola-pola tertentu, antara lain secara format mengacu pada Teknik Penulisan Ilmiah (TPI); mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu dalam pengkajiannya serta dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis kritik ini dapat dilihat pada skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel jurnal, dan sejenisnya. Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan akademik: mahasiswa, dosen, peneliti di lembaga lembaga bahasa dan sastra.

Kritik sastra nonakademik bersifat sebaliknya. Kritik sastra ini tidak terpaku pada format TPI; teori dan metode -meskipun digunakan- umumnya tidak dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer. Jenis-jenis tulisannya berupa esai, resensi, dan artikel yang dipublikasikan lewat koran, majalah, atau buku-buku antologi kritik sastra. Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan, atau kalangan umum yang tertarik dan mendalami sastra. Akan tetapi, istilah yang digunakan bukan “kritik”, melainkan “penyelidikan”. Kata “kritik” tampak sekali berat untuk digunakan. J.E. Tatengkeng misalnya, untuk tulisannya yang berisi kritik sastra lebih senang memberi judul “Penyelidikan dan Pengakuan”. Pada perkembangan selanjutnya, istilah-istilah yang dipergunakan untuk menyebut kritik sastra adalah sorotan, ulasan, bahasan, dan telaahan. Menurut Andre Hardjana (1981:8), istilah kritik sastra mulai digunakan dan pengertiannya menjadi kokoh dalam kesusastraan Indonesia setelah H.B. Jassin menerbitkan buku Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Essay (1945).

Dunia sasta tidak hanya terdiri atas hal-hal yang bersifat rasional. tapi juga rasa dan keunikan-keunikan lainnya yang seringkali kompleks. Dengan demikian, seperti pernah dinyatakan H.B. Jassin, penelaahan sastra bukan hanya pekerjaan otak, tetapi juga pekerjaan hati yang ikut bergetar dengan objek penyelidikan. Oleh karena itu, dalam penelaahan sastra perlu kepekaan pada penelaah, penghayatan dan empati. Dalam penyelidikan sastra, justru yang ilmiah yang seperti inilah. Budi Darma mengemukakan selama kritik sastra mengangkat hakikat sastra, kritik itu ilmiah. Dengan penyelidikan seperti itu tidak berarti penyelidikan jadi tidak objektif. Justru dengan pengerahan segala aspek penyelidik terhadap segala aspek sastra itulah penyelidikan jadi objektif.

B.     KRITIK SASTRA AKADEMIK DAN KRITIK SASTRA SASTRAWAN

Para penulis kritik sastra Indonesia modern sampai pertengahan tahun 1950-an sebagian besar adalah para sastrawan. Oleh karena itu, periode 1920-1955 itu merupakan periode kritik sastrawan. Corak kritiknya adalah impresionistik, bertipe ekspresif dan pragmatik, ditulis tidak menurut sistematika ilmiah, bersifat esaistis.

Kritik sastra Pujangga Baru dapat dikatakan menjadi pendasar kritik sastra Indonesia modern. Meskipun sebelumnya sudah ada kritik sastra Balai Pustaka, tetapi secara nyata kritik sastra Balai Pustaka tidak dikenal umum karena hanya terbatas pada pertimbangan buku di kalangan Balai Pustaka saja. Berbeda dengan Pujangga Baru yang disiarkan dalam majalah Pujangga Baru sejak Juli 1933. Kritik sastra Pujangga Baru disebut pendasar kritik sastra Indonesia Modern karena pada kenyatannya gagasan-gagasan, praktik-praktik kritik sastra, dan corak kritik sastra Pujangga Baru diteruskan oleh sastrawan dan kritikus sesudahnya. Hal ini tampak pengertian kritik sastra yang merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, sebagai penerangan, untuk perkembangan kesusastraan dalam “Kritik Kesusastraan” (1932:838-839) yang kemudian diteruskan oleh H.B.Jassin seperti tampak dalam esainya “Kritik Sastra” (1959:44-47).

Pada zaman Pujangga Baru ada dua tipe kritik sastra yang diteruskan sampai sekarang, yaitu tipe kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi Pane yang bersifat espresif. Tipe kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi Pane saling bertentangan. STA menghendaki karya sastra itu berguna bagi pembangunan bangsa, sedangkan Sanusi Pane menghendaki karya sastra itu mengutamakan nilai estetikanya, karya sastra “seni untuk seni”.

Kurang lebih pada pertengahan tahun 1950-an timbul jenis kritik sastra yang baru, yaitu kemudian terkenal dengan kritik akademik atau kritik ilmiah. Corak kritik akademik berbeda dengan kritik sastrawan sebelumnya. Kritik sastra akademik berupa penelitian ilmiah dengan metode ilmiah. Ciri-cirinya adalah pembicaraan sampai pada hal-hal yang kecil, analisisnya mendetail, disusun dalam susunan yang sistematik, ada pertanggungjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang akurat, pernyataan disertai argumentasi, menggunakan metode ilmiah.

Munculnya kritik ilmiah ini menimbulkan reaksi para sastrawan. Misalnya saja Rustandi Kartakusuma dan Harijadi Hartowardjoyo yang menuduh kritik ilmiah itu seagai kritik induktif interpretatif, tidak ada penilaian, sebagian besar hanya penafsiran saja. Meskipun ada reaksi dara bei sastrawan, kritik akademik terus berjalan, terutama dalam penulisan skripsi, penelitian sastra ilmiah, makalah dan disertasi. Semakin banyaknya kritik sastra yang diterbitkan dalam bnetuk buku, timbulnya reaksi baru dari sastrawan. Diantaranya yang tampil adalah Arif Budiman. Mereka memberi ciri kritik akademik sebagai kritik analitik. Dikatakan demikian disebabkan kritik akademik terlalu mencincang-cincang karya sastra, menganalisi karya sastra terlalu analitik, karya sastra dianggap mayat di atas meja bedah.

Untuk menandingi kritik sastra akademik itu mereka (Arif Budiman, dkk) mengemukakan kritik sastra dengan metode Ganzheit, yaitu melihat karya sastra sebagai keseluruhan (tidak dicincang-cincang). Atas reaksi para sastrawan terhadap kritik akademik yang diberi ciri sebagai kritik analitik itu, terjadilah perdebatan dan polemik. M.S. Hutagalung (tokoh kritik sastra akademik) yang memproklamirkan kritiknya sebagai “Kritik Sastra Aliran Rawamangun”. Dalam polemik itu, pihak Ganzheit diwakili oleh Arif Budiman. Polemik itu baru berhenti pada pertengahan tahun 1970-an.

M.S. Hutagalung mengemukakan pembelaannya terhadap kebaikan dan manfaat kritik ilmiah berjudul “Peranan Penelitian Ilmiah untuk Pengembangan Kesusastraan Indonesia” dalam bukunya Membina Kesusastraan Indonesia Modern (1987). Dikemukakannya manfaat penelitian sastra (kritik sastra) ilmiah, yaitu: Penelitian ilmiah membuat orang lebih tepat memandang dan mendekati kesusastraan itu sendiri. Kritik sastra yang bersifat ilmiah akan lebih dapat dipertanggungjawabkan, subyektivitasnya dapat dihindari, pengertian akan nilai-nilai akan lebih jelas. Penelitian ilmiah akan membuat orang lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan serta membina kesusastraan masa akan datang.


C.      KRITIK OBJEKTIF

Suatu kritik sastra yang menggunakan pendekatan bahwa suatu karya sastra adalah karya yang mandiri. Kritik ini menekankan pada unsur intrinsik.

STRUKTURALISME
1.      Struktural Formalis
Istilah Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti bentuk, wujud) berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis, ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya pada ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lainnya. Istilah Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk menyebut model pendekatan ini karena mereka memandang karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang utuh dan otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya.
Pelopor Struktural Formalis
  Kaum Formalis Rusia tahun 1915-1930 dengan tokoh-tokohnya seperti Roman Jakobson, Rene Wellek, Sjklovsky, Eichenhaum, dan Tynjanov
  Rene Wellek dan Roman Jakobson beremigrasi ke Amerika Serikat
  Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum Formalis.
Prinsip Dasar Struktural Formalis
  Prinsip keseluruhan (wholness) bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya.
  Prinsip transformasi (transformation), struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru
  Prinsip keteraturan yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasi, struktur itu otonom terhdap rujukan sistem lain
Langkah Kerja
  1. Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti. Struktur yang dibangun harus mampu menggambarkan teori struktur yang handal, sehingga mudah diikuti oleh peneliti sendiri. Peneliti perlu memahami lebih jauh hakikat setiap unsur pembangun karya sastra.
  2. Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu. Setiap unsur dimasukkan ke dalam kartu data, sehingga memudahkan analisis. Kartu data sebaiknya disusun alpabetis, agar mudah dilacak pada setiap unsur.
  3. Unsur tema, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur lain, karena tema akan selalu terkait langsung secara komprehensif dengan unsur lain.
  4. Setelah analisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang, gaya, setting, dan sebagainya andaikata berupa prosa.
  5. Yang harus diingat, semua penafsiran unsur-unsur harus dihubungkan dengan unsur lain, sehingga mewujudkan kepaduan makna struktur.
  6. Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan antar unsur. Analisis yang meninggalkan kepaduan struktur, akan bias dan menghasilkan makna yang mentah.
Kelemahan Strukturalisme
Sebagai sebuah model teori kritik, strukturalisme bukan tanpa kelemahan. Ada beberapa kelemahan yang perlu direnungkan bagi pengeritik struktural, yaitu melalui struktural karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya sehingga dapat kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari sejarah, dan terpisah dari aspek kemanusiaan.
2.      Struktural Genetik
  Muncul sebagai wujud ketidakpuasan terhadap teori struktural yang melihat karya sastra sebagai sesuatu yang otonom
  Pendirinya adalah Taine dan dikembangkan oleh Lucian Goldman di Paris
  Prinsip Dasarnya: Karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan juga sebagai cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya diciptakan
3.      Struktural Dinamik
  Merupakan jembatan penghubung antara teori struktural formalis dan teori semiotik
  Hampir sama dengan struktural genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi penekanannya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur, tanda, dan realitas
  Tokoh-tokohnya : Julia Cristeva dan Roland Bartes (Strukturalisme Prancis)



D.    CONTOH KRITIK AKADEMIK

CERPEN SEBAGAI BAHAN AJAR (Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami)
Dalam Upaya Memperbaiki dan Meningkatkan Mutu Pembelajaran Apresiasi Sastra (Cerpen).
Desember 20, 2008 — Awan Sundiawan
1.      Latar Belakang Masalah
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.
Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik.
Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami mencoba mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Cerpen yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis tersebut bukan tanpa pertimbangan atau alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan (bagi kami) dibandingkan dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang ditulis pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut hemat saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A. Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali (meminjam istilah Bahrum Rangkuti dalam Polemik H.B.Jassin, 1972:177). Sedangkan dalam cerpen Robohnya Surau Kami tidak seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. Selain itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).
Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam kurikulum 1994 yaitu agar siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10 ditegaskan pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.
Mengingat perannya yang sedemikian itu, maka terselenggaranya pembe-lajaran sastra yang menarik dan menyenangkan akan menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur kehidupan manusia di sekitar pembaca?.
Jadi, dengan mempelajari cerpen (sastra) berarti siswa diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungannya. Biasanya siswa akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.
Sayangnya, kendala pembelajaran itu sering terletak pada guru. Sebab, masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS (Latihan Kerja Siswa), tidak menyukai sastra, dan tidak bisa memilih bahan ajar yang tepat dan menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah yang sering dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki daya apresiasi dan kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.
Berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam kegiatan pembelajaran dan berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan bahan ajar di kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi sastra (cerpen).

2.      Identifikasi
Berdasarkan latar belakang di atas, saya mencoba mengidentifikasi masalah sayaan ini. Identifikasi masalahnya sebagai berikut:
1.      Bagaimana unsur intrinsik cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?
2.      Apakah cerpen tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan?
3.      Nilai-nilai pendidikan yang bagaimana yang terdapat dalam cerpen tersebut?
4.      Setiap karya sastra prosa, khususnya cerpen dapat dijadikan bahan ajar dikelas. Lalu upaya-upaya apa saja yang memungkinkan pemilihan bahan ajar itu efektif?

3.      Sinopsis Cerpen Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis
Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya. Karena daya pikat itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian ini, khususnya bab IV ini mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis cerpen Robohnya Surau Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di bawah ini.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.

4.      Tinjauan atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:
a.      Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”

Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :

“Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”

Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.

b.      Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.

Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu.

Amanat-amanat yang dimaksud itu di antaranya:
a.     Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…”
dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.

b.    Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:
“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 – 13 ).
       Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:

c.     Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.

d.    Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:
“…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin .…” (hlm. 15).

e.     Jangan mementingkan diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 16.
”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.”
Dan akhirnya amanat (d) dan (e) menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan pada bagian awal tentang amanat di atas.

c.       Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.

Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )

Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8)
“Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)

Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek (hlm. 7)
Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?” suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes. Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju. Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.
Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”

d.         Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.

1.      Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).

Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan. Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya …
Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya …. (hlm. 8)

Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.

2.      Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:

Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. (hlm . 8)

Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.

… Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 8)

Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik. Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu geramnya bahkan mengancam.

“Kurang ajar dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“ Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm. 9)

Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.



3. Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).

Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).

e.         Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a.      Tokoh Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).

b.      Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk ini seperti berikut.
.Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)
Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.

c.        Si Kakek
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).

d.      Haji Saleh
Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri.

f.        Titik Pengisahan
Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”. Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.

g.      Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya.
Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini
Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8). Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.


5.      Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas.
Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu:

a.       Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.
b.      Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.

Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba-coba membaca ringkasannya.

6.      Kesimpulan
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a.       Tema Tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b.      Amanat Amanat cerpen ini adalah :
1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3) jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.

c.       Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

d.      Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal bagian akhir.

e.       Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.

f.       Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita.
Selain itu pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.

g.      Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.

Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika dijadikan bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.

7.      Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk guru
·      Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra harus pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya.
·      Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita itu, bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa.
·      Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya yang duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.


2. Saran untuk siswa
·         Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar memahami isinya.
·         Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada.
·         Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar manfaat sastra bisa dirasakan
·         Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau diskusi sastra di manapun


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badudu, J.S. 1979. Sari Kesusasteraan Indonesia Jilid 2. Bandung: Pustaka Prima.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni Budaya Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan: Pengantar teori dan sejarah. Bandung: Angkasa.
Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.
Hoerip, Satyagraha.1984. Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Prima.
Lubis, Mochtar. 1980. Teknik Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa.
Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sukada, Made.1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika
Analisis Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa.
Suroto.1989. Teori dan Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga.
Tarigan, Henri Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.


BAB 3
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
“Tidak sedikit peminat sastra yang merasa kecewa melihat perkembangan kritik sastra dewasa ini, khususnya yang berlaku dan dilakukan di lingkungan akademis. Yang diharapkannya dari kritik sastra adalah suatu kritik, yakni suatu tanggapan yang mengandung penilaian tentang baik-buruk, tinggi-rendah mutu dan berhasil-tidaknya karya sastra yang konkret dihadapi penelaah. Harapan itu tidak terkabul karena yang disibukkan para dosen dan mahasiswa perguruan tinggi adalah pemahaman berbagai teori sastra modern yang kebanyakan bersifat formalitas.”
Istilah kritik sastra akademik, atau yang sering diistilahkan pula dengan kritik ilmiah sering ditujukan pada kritik sastra yang ditulis dalam pola-pola tertentu, antara lain secara format mengacu pada Teknik Penulisan Ilmiah (TPI); mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu dalam pengkajiannya serta dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis kritik ini dapat dilihat pada skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel jurnal, dan sejenisnya. Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan akademik: mahasiswa, dosen, peneliti di lembaga lembaga bahasa dan sastra.