BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Kritik sastra diharapkan bisa melahirkan
kritikan yang mengandung nilai-nilai baik buruknya, tinggi rendah mutu dari
suatu karya sastra. Secara garis besar kritik sastra itu terbagi kedalam 2
kategori yaitu, kategori kritik sastra akademis dan kritik sastra umum.
Sebenarnya keduanya sama-sama kritik, akan tetapi perbedaannya terletak pada
metodologi-metodologi yang dipakai dari kedua krtik tersebut. Kritik sastra
umum adalah kritik yang bersifat public yang bisa diapresiasikan untuk semua
khalayak dan masyarakat luas. Biasanya kritik ini muncul didalam media-media
massa berbentuk resensi, artikel dan yang lain-lain. Semua orang pun bisa
menjadi seorang kritikus/para pengapresiasi kalau dilihat dari wilayah kritik
sastra umum, meskipun begitu para pengkritik ini juga harus sesuai dengan
koridor teori kritik sastra yang bisa membangun, tidak mencaci, dan tidak
membaur kedalam hal yang jauh dari yang dikritik, dan juga bisa mengekspresikan
tujuan pengarang lewat teks. Berbeda dengan kritik sastra akademis yang lebih
bersifat kritik alamiah, dengan kata lain setiap kritikan yang dilontarkan
kritikus harus disertai dengan alasan pertanggungjawaban. Artinya ia bisa
diterima berdasarkan ketentuan ilmiah. Sesuai dengan kerangka teoritis dan
metodologi pengungkapan nilai-nilai yang dipakai.
Namun akhir-akhir ini peran kritik
sastra akademis yang diharapkan bisa memberikan angin segar terhadap
kritik-kritik yang bersifat objektif, kritikus tidak dari orang yang mendalami
bidangnya ataupun dari kritik sastra yang kurang ilmiah. Tenyata masih banyak
dikeluhkan.
Menurut Subagio Sastrowardoyo:
“Tidak sedikit
peminat sastra yang merasa kecewa melihat perkembangan kritik sastra dewasa
ini, khususnya yang berlaku dan dilakukan di lingkungan akademis. Yang
diharapkannya dari kritik sastra adalah suatu kritik, yakni suatu tanggapan
yang mengandung penilaian tentang baik-buruk, tinggi-rendah mutu dan
berhasil-tidaknya karya sastra yang konkret dihadapi penelaah. Harapan
itu tidak terkabul karena yang disibukkan para dosen dan mahasiswa perguruan
tinggi adalah pemahaman berbagai teori sastra modern yang kebanyakan bersifat
formalitas.”
Polemik tentang peran kritik sastra akademis bukan hanya
terjadi sekarang, hal tersebut sudah ada dari sejak berkembangnya sastra
Indonesia modern sekitar tahun 1920 khususnya ketika polemik kritik rawamangun
versus Ganzheit. Namun hal yang seperti ini menjadi perbincangan hangat lagi
bagi para sastrawan untuk mencari tepian perbincangan panjang tentang peran
krtik sastra akademis.
A. Theuww berpendapat bahwa teori-teori
yang berasal dari barat banyak digunakan dalam mengkritik karya-karya sastra
daripada teori-teori sastra Indonesia yang ada, bahkan diatas dikatakan bahwa
teori sastra Indonesia sudah ketinggalan zaman, mungkin secara tidak langsung
teori sastra Indonesia sudah jarang dipakai dalam dunia pengkritikan. Oleh
karena itu dengan adanya teori-teori sastra yang berasal dari barat seakan-akan
menjadi suntikan segar bagi dunia kritik sastra di Indonesia. khususnya didunia
akademik yang diharapkan akan mencetak seorang kritikus yang handal dan
mempunyai interpretasi bagus mengenai pemahaman karya sastra
B.
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan
masala pada makalah ini adalah:
·
Bagaimana kritik akademik itu?
·
Bagaimana
kritik sastra akademik dan kritik sastra sastrawan itu?
·
Apa kritik objektif itu?
·
Bagaimana contoh kritik akademik?
C.
TUJUAN
Tujuan
yang hendak dicapai makalah ini adalah sebagai berikut:
· Menawarkan kepada
pembaca tentang pentingnya kritik sastra.
· Mengetahui kritik akademik
· Mengetahui kritik sastra
akademik dan kritik sastra sastrawan
· Mengetahui kritik objektif
· Paham bagaiman contoh kritik
akademik
· Sebagai pembelajaran dan pengetahuan baru
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
KRITIK
AKADEMIK
Istilah kritik sastra akademik, atau yang sering diistilahkan pula dengan
kritik ilmiah sering ditujukan pada kritik sastra yang ditulis dalam pola-pola
tertentu, antara lain secara format mengacu pada Teknik Penulisan Ilmiah (TPI);
mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu dalam pengkajiannya serta
dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis
kritik ini dapat dilihat pada skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel
jurnal, dan sejenisnya. Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan akademik:
mahasiswa, dosen, peneliti di lembaga lembaga bahasa dan sastra.
Kritik sastra nonakademik bersifat sebaliknya. Kritik sastra ini tidak
terpaku pada format TPI; teori dan metode -meskipun digunakan- umumnya tidak
dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer. Jenis-jenis tulisannya
berupa esai, resensi, dan artikel yang dipublikasikan lewat koran, majalah,
atau buku-buku antologi kritik sastra. Para penulisnya umumnya sastrawan,
wartawan, atau kalangan umum yang tertarik dan mendalami sastra. Akan tetapi,
istilah yang digunakan bukan “kritik”, melainkan “penyelidikan”. Kata “kritik”
tampak sekali berat untuk digunakan. J.E. Tatengkeng misalnya, untuk tulisannya
yang berisi kritik sastra lebih senang memberi judul “Penyelidikan dan
Pengakuan”. Pada perkembangan selanjutnya, istilah-istilah yang dipergunakan
untuk menyebut kritik sastra adalah sorotan, ulasan, bahasan, dan telaahan.
Menurut Andre Hardjana (1981:8), istilah kritik sastra mulai digunakan dan
pengertiannya menjadi kokoh dalam kesusastraan Indonesia setelah H.B. Jassin
menerbitkan buku Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Essay (1945).
Dunia sasta tidak hanya terdiri atas hal-hal yang bersifat rasional. tapi
juga rasa dan keunikan-keunikan lainnya yang seringkali kompleks. Dengan
demikian, seperti pernah dinyatakan H.B. Jassin, penelaahan sastra bukan hanya
pekerjaan otak, tetapi juga pekerjaan hati yang ikut bergetar dengan objek
penyelidikan. Oleh karena itu, dalam penelaahan sastra perlu kepekaan pada
penelaah, penghayatan dan empati. Dalam penyelidikan sastra, justru yang ilmiah
yang seperti inilah. Budi Darma mengemukakan selama kritik sastra mengangkat
hakikat sastra, kritik itu ilmiah. Dengan penyelidikan seperti itu tidak
berarti penyelidikan jadi tidak objektif. Justru dengan pengerahan segala aspek
penyelidik terhadap segala aspek sastra itulah penyelidikan jadi objektif.
B.
KRITIK SASTRA
AKADEMIK DAN KRITIK SASTRA SASTRAWAN
Para
penulis kritik sastra Indonesia modern sampai pertengahan tahun 1950-an
sebagian besar adalah para sastrawan. Oleh karena itu, periode 1920-1955 itu
merupakan periode kritik sastrawan. Corak kritiknya adalah impresionistik, bertipe
ekspresif dan pragmatik, ditulis tidak menurut sistematika ilmiah, bersifat
esaistis.
Kritik
sastra Pujangga Baru dapat dikatakan menjadi pendasar kritik sastra Indonesia
modern. Meskipun sebelumnya sudah ada kritik sastra Balai Pustaka, tetapi
secara nyata kritik sastra Balai Pustaka tidak dikenal umum karena hanya
terbatas pada pertimbangan buku di kalangan Balai Pustaka saja. Berbeda dengan
Pujangga Baru yang disiarkan dalam majalah Pujangga
Baru sejak Juli 1933. Kritik sastra Pujangga Baru disebut pendasar kritik
sastra Indonesia Modern karena pada kenyatannya gagasan-gagasan,
praktik-praktik kritik sastra, dan corak kritik sastra Pujangga Baru diteruskan
oleh sastrawan dan kritikus sesudahnya. Hal ini tampak pengertian kritik sastra
yang merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, sebagai penerangan, untuk
perkembangan kesusastraan dalam “Kritik Kesusastraan” (1932:838-839) yang
kemudian diteruskan oleh H.B.Jassin seperti tampak dalam esainya “Kritik
Sastra” (1959:44-47).
Pada
zaman Pujangga Baru ada dua tipe kritik sastra yang diteruskan sampai sekarang,
yaitu tipe kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan tipe kritik
sastra Sanusi Pane yang bersifat espresif. Tipe kritik sastra pragmatik Sutan
Takdir Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi Pane saling bertentangan. STA
menghendaki karya sastra itu berguna bagi pembangunan bangsa, sedangkan Sanusi
Pane menghendaki karya sastra itu mengutamakan nilai estetikanya, karya sastra
“seni untuk seni”.
Kurang
lebih pada pertengahan tahun 1950-an timbul jenis kritik sastra yang baru,
yaitu kemudian terkenal dengan kritik akademik atau kritik ilmiah. Corak kritik
akademik berbeda dengan kritik sastrawan sebelumnya. Kritik sastra akademik
berupa penelitian ilmiah dengan metode ilmiah. Ciri-cirinya adalah pembicaraan
sampai pada hal-hal yang kecil, analisisnya mendetail, disusun dalam susunan
yang sistematik, ada pertanggungjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang
akurat, pernyataan disertai argumentasi, menggunakan metode ilmiah.
Munculnya
kritik ilmiah ini menimbulkan reaksi para sastrawan. Misalnya saja Rustandi
Kartakusuma dan Harijadi Hartowardjoyo yang menuduh kritik ilmiah itu seagai
kritik induktif interpretatif, tidak ada penilaian, sebagian besar hanya
penafsiran saja. Meskipun ada reaksi dara bei sastrawan, kritik akademik terus
berjalan, terutama dalam penulisan skripsi, penelitian sastra ilmiah, makalah
dan disertasi. Semakin banyaknya kritik sastra yang diterbitkan dalam bnetuk
buku, timbulnya reaksi baru dari sastrawan. Diantaranya yang tampil adalah Arif
Budiman. Mereka memberi ciri kritik akademik sebagai kritik analitik. Dikatakan
demikian disebabkan kritik akademik terlalu mencincang-cincang karya sastra,
menganalisi karya sastra terlalu analitik, karya sastra dianggap mayat di atas
meja bedah.
Untuk
menandingi kritik sastra akademik itu mereka (Arif Budiman, dkk)
mengemukakan kritik sastra dengan metode Ganzheit, yaitu melihat karya sastra
sebagai keseluruhan (tidak dicincang-cincang). Atas reaksi para sastrawan terhadap
kritik akademik yang diberi ciri sebagai kritik analitik itu, terjadilah
perdebatan dan polemik. M.S. Hutagalung (tokoh kritik sastra akademik) yang
memproklamirkan kritiknya sebagai “Kritik Sastra Aliran Rawamangun”. Dalam
polemik itu, pihak Ganzheit diwakili oleh Arif Budiman. Polemik itu baru
berhenti pada pertengahan tahun 1970-an.
M.S.
Hutagalung mengemukakan pembelaannya terhadap kebaikan dan manfaat kritik
ilmiah berjudul “Peranan Penelitian Ilmiah untuk Pengembangan Kesusastraan
Indonesia” dalam bukunya Membina Kesusastraan
Indonesia Modern (1987). Dikemukakannya manfaat penelitian sastra (kritik
sastra) ilmiah, yaitu: Penelitian ilmiah membuat orang lebih tepat memandang
dan mendekati kesusastraan itu sendiri. Kritik sastra yang
bersifat ilmiah akan lebih dapat dipertanggungjawabkan, subyektivitasnya dapat
dihindari, pengertian akan nilai-nilai akan lebih jelas. Penelitian
ilmiah akan membuat orang lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan serta
membina kesusastraan masa akan datang.
C. KRITIK
OBJEKTIF
Suatu
kritik sastra yang menggunakan pendekatan bahwa suatu karya sastra adalah karya
yang mandiri. Kritik ini menekankan pada unsur intrinsik.
STRUKTURALISME
1.
Struktural Formalis
Istilah
Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti bentuk, wujud) berarti
cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data
biografis, psikologis, ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada
bentuk karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya pada
ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lainnya. Istilah
Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk menyebut model pendekatan ini
karena mereka memandang karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang
utuh dan otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya.
Pelopor Struktural
Formalis
Kaum Formalis Rusia
tahun 1915-1930 dengan tokoh-tokohnya seperti Roman Jakobson, Rene Wellek,
Sjklovsky, Eichenhaum, dan Tynjanov
Rene Wellek dan Roman
Jakobson beremigrasi ke Amerika Serikat
Sumbangan penting
kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka mengarahkan
perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang
masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal
dari kaum Formalis.
Prinsip Dasar
Struktural Formalis
Prinsip keseluruhan
(wholness) bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan
seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun
bagian-bagiannya.
Prinsip transformasi (transformation),
struktur itu menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan
pembentukan bahan-bahan baru
Prinsip keteraturan
yang mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya
untuk mempertahankan prosedur transformasi, struktur itu otonom terhdap rujukan
sistem lain
Langkah Kerja
- Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti. Struktur yang dibangun harus mampu menggambarkan teori struktur yang handal, sehingga mudah diikuti oleh peneliti sendiri. Peneliti perlu memahami lebih jauh hakikat setiap unsur pembangun karya sastra.
- Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur struktur yang terkandung dalam bacaan itu. Setiap unsur dimasukkan ke dalam kartu data, sehingga memudahkan analisis. Kartu data sebaiknya disusun alpabetis, agar mudah dilacak pada setiap unsur.
- Unsur tema, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum membahas unsur lain, karena tema akan selalu terkait langsung secara komprehensif dengan unsur lain.
- Setelah analisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang, gaya, setting, dan sebagainya andaikata berupa prosa.
- Yang harus diingat, semua penafsiran unsur-unsur harus dihubungkan dengan unsur lain, sehingga mewujudkan kepaduan makna struktur.
- Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya keterkaitan antar unsur. Analisis yang meninggalkan kepaduan struktur, akan bias dan menghasilkan makna yang mentah.
Kelemahan
Strukturalisme
Sebagai
sebuah model teori kritik, strukturalisme bukan tanpa kelemahan. Ada beberapa
kelemahan yang perlu direnungkan bagi pengeritik struktural, yaitu melalui
struktural karya sastra seakan-akan diasingkan dari konteks fungsinya sehingga
dapat kehilangan relevansi sosial, tercerabut dari sejarah, dan terpisah dari
aspek kemanusiaan.
2.
Struktural Genetik
Muncul sebagai wujud
ketidakpuasan terhadap teori struktural yang melihat karya sastra sebagai
sesuatu yang otonom
Pendirinya adalah
Taine dan dikembangkan oleh Lucian Goldman di Paris
Prinsip Dasarnya:
Karya sastra tidak sekedar fakta imajinatif dan pribadi, melainkan juga sebagai
cerminan atau rekaman budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya
diciptakan
3.
Struktural Dinamik
Merupakan jembatan
penghubung antara teori struktural formalis dan teori semiotik
Hampir sama dengan
struktural genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi penekanannya
berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur, tanda, dan realitas
Tokoh-tokohnya :
Julia Cristeva dan Roland Bartes (Strukturalisme Prancis)
D.
CONTOH KRITIK AKADEMIK
CERPEN SEBAGAI BAHAN AJAR (Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami)
Dalam Upaya Memperbaiki dan Meningkatkan Mutu Pembelajaran
Apresiasi Sastra (Cerpen).
Desember 20, 2008 — Awan Sundiawan
1.
Latar Belakang Masalah
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah
satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di
antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan
imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat
menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya
sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa
berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial,
politik, pendidikan, dan sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang
pembaca cerpen, maka sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat
miniatur kehidupan manusia dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada
di dalamnya. Akibatnya, si pembacanya itu ikut larut dalam alur dan
permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan
oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu
akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang
tokoh atau membencinya.
Jika kenyataannya seperti itu, maka
jelaslah bahwa sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai
karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang
diungkapakan Saini K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan
ajar di kelas tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik.
Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan
segala permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji.
Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen
itu dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami
mencoba mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas.
Cerpen yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau
Kami karya A.A. Navis.
Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis
tersebut bukan tanpa pertimbangan atau alasan sebab cerpen ini memiliki
keistimewaan (bagi kami) dibandingkan dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau
cerpen yang ditulis pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu
terletak pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu.
Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam
lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha
Pencipta. Menurut hemat saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen Langit
Makin Mendung karya Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau Kami
karya A.A. Navis.
Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap
berbeda. Cerpennya Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang
luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum.
Sedangkan cerpennya A.A. Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya
menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam
cerpen Langit Makin Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat
sekali (meminjam istilah Bahrum Rangkuti dalam Polemik H.B.Jassin,
1972:177). Sedangkan dalam cerpen Robohnya Surau Kami tidak seperti itu.
Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. Selain
itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja
keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko
Damono dalam kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).
Sementara itu, tujuan umum pengajaran
sastra seperti yang tercantum dalam kurikulum 1994 yaitu agar siswa mampu
menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa. Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10 ditegaskan
pula bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
untuk mengapresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya
khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.
Dengan demikian peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.
Mengingat perannya yang sedemikian itu,
maka terselenggaranya pembe-lajaran sastra yang menarik dan menyenangkan akan
menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena
pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan
menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat
menghargai hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna
hidup dan kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur
kehidupan manusia di sekitar pembaca?.
Jadi, dengan mempelajari cerpen
(sastra) berarti siswa diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungannya.
Biasanya siswa akan sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau
mendiskusikannya juga akan mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.
Sayangnya, kendala pembelajaran itu
sering terletak pada guru. Sebab, masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS
(Latihan Kerja Siswa), tidak menyukai sastra, dan tidak bisa memilih bahan ajar
yang tepat dan menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah
yang sering dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki
daya apresiasi dan kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.
Berangkat dari permasalahan yang sudah
diuraikan di atas, saya mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam kegiatan
pembelajaran dan berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan
bahan ajar di kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan
solusi dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi
sastra (cerpen).
2. Identifikasi
Berdasarkan latar belakang di atas,
saya mencoba mengidentifikasi masalah sayaan ini. Identifikasi masalahnya
sebagai berikut:
1.
Bagaimana unsur
intrinsik cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis?
2.
Apakah cerpen tersebut
mengandung nilai-nilai pendidikan?
3.
Nilai-nilai pendidikan
yang bagaimana yang terdapat dalam cerpen tersebut?
4.
Setiap karya sastra
prosa, khususnya cerpen dapat dijadikan bahan ajar dikelas. Lalu upaya-upaya
apa saja yang memungkinkan pemilihan bahan ajar itu efektif?
3.
Sinopsis Cerpen
Robohnya Surau Kami Karya A.A. Navis
Cerpen karya A.A. Novis yang
mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara mengenaskan yaitu
membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah
dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya. Karena daya pikat
itu, peneliti mencoba mengkajinya dan agar kajian ini, khususnya bab IV ini
mudah dipahami agaknya perlu juga memaparkan sinopsis cerpen Robohnya Surau
Kami tesebut. Sinopsisnya itu seperti yang dipaparkan di bawah ini.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua
yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan
keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini
masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini
disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena
sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan,
yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah
dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton.
Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau,
beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot
bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain,
apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk
berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat
perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau
itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo
Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak
dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang
tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya
kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor
lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada
Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan
? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi
dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka.
Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya.
Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas
untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan
masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya.
Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo
Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap
pergi bekerja.
4.
Tinjauan atas
Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang
membentuk penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur,
penokohan, titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen
Robohnya Surau Kami itu sebagai berikut:
a.
Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita. Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari mudaku aku
disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti
orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari
kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah
Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan
aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak
ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang
kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul
bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku
bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya.
“Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku
bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku
itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman
16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
“Tidak, kesalahan
engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk
neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu
sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar
kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat
kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala
keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh
dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu,
wajarlah kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.
b.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya.
Jadi amanat
pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara,
jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini
terdapat pada paragraf kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat
pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya
muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu.
Amanat-amanat
yang dimaksud itu di antaranya:
a.
Jangan cepat marah
kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena ada perbuatan kita
yang kurang layak di hadapan orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan
kakek Garin pada halaman 9.
“Marah ? Ya,
kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama
aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku
rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal
kepada Tuhan .…”
dari ucapan
kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita pengarangnya mengenai
karangan untuk cepat marah.
b.
Jangan cepat bangga
akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan
manusia tetapi tetap kurang baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok
pengalaman tokoh yang bernama Haji Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:
“Alangkah
tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan
keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak
kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai
14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh
pula ( Hlm. 12 – 13 ).
Tidak hanya itu
saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
c.
Kita jangan terpesona
oleh gelar dan nama besar sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
d.
Jangan menyia-nyiakan
apa yang kamu miliki, untuk itu cermati sabda Tuhan dalam cerpen ini:
“…, kenapa engkau
biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta
bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau
lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku
beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja,
karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang Aku
menyuruh engkau semuanya beramal disamping beribadat. Bagaimana engkau bisa
beramal kalau engkau miskin .…” (hlm.
15).
e.
Jangan mementingkan
diri sendiri, seperti yang disabdakan Tuhan dalam cerpen ini halaman 16.
”…. Kesalahan engkau,
karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka,
karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar
kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
engkau didunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikitpun.”
Dan akhirnya
amanat (d) dan (e) menjadi kunci amanat yang diinginkan pengarang untuk
pembacanya. Kedua amanat itu kemudian dirumuskan, seperti yang sudah dituliskan
pada bagian awal tentang amanat di atas.
c.
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini
biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal,
sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini
jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan
sebagainya :
Kalau beberapa
tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan
berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka
kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada
simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu.
Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada
kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
Latar jenis
ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat,
seperti yang sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya
seperti berikut :
“Pada suatu
waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang
yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
Meskipun
begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ………
Sekali hari aku
datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8)
“Sedari mudaku
aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)
Latar Sosial
Di dalam latar
ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan
sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar
sosial digambarkan sebagai berikut :
Dan di
pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk disana
dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek (hlm. 7)
Dari contoh ini
tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara
hidupnya.
Namun demikian,
contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :
“Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan – Nya bagaimana ?”
suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
“Kita protes.
Kita resolusikan,” kata Haji Soleh.
…………………………………………………………………………
“cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak
yang kita peroleh,” sebuah suara menyela.
“Setuju.
Setuju. Setuju.” Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)
Kebiasaan ini
tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam
dialog ini (hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan
berani. Karena kritik, vokalnya, dan beraninya Dia sering menganggap enteng
orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan. Tokoh-tokoh ini menjadi
sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada apa-apanya.
Perhatikan pada berikut ini.
Haji soleh yang
jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: “O, Tuhan kami yang
Mahabesar, kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat
beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu
menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan
lain-lainnya…”
Akhirnya ada latar
sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas saja
gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam
cerita ini termasuk kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia ?”
“Kerja”
“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
“Kerja?”tanyaku mengulangi hampa.
“ya.Dia pergi kerja.”
d.
Alur (plot)
Alur menurut
Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang
diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan
hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri
dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam
cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.
1.
Bagian Awal
Pada bagian
awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu
bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan
dalam memahami cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa
penjelasan tentang keberadaan seorang kakek yang menjadi garim di sebuah surau
tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau beberapa
tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui seorang tua
yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya
beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu.
Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai penjaga
surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya
sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil
pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan
fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai
pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang
suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa.
Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,
memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan yang kedua
adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya
terdapat keterbukaan. Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan
terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi kakek ini
sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu
tanpa penjaganya …
Jika Tuan
datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya …. (hlm. 8)
Berdasarkan
data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka
adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa
si Kakek wafat dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini
memunculkan suatu pengembangan suatu cerita.
2.
Bagian Tengah
Meskipun
ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi
bagian tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah
dimulai dengan jawaban atas pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan
dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si
Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk
ini seperti berikut:
Dan biang
keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. (hlm . 8)
Data konflik
ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak
mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek
suasananya sangat tidak diharapkan.
… Kakek begitu
muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan
dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk
pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus,
kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm.
8)
Rupanya si
Kakek sedang dicekam konplik. Konplik ini berkembang menjadi konplikasi
manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek.
Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih
pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu,
dia begitu geramnya bahkan mengancam.
“Kurang ajar
dia.” Kakek menjawab.
“ Kenapa ? “
“ Mudah-mudahan
pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” (hlm.
9)
Kemarahannya
ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan
menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokoh aku.
Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan
hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang
diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku
ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan
dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara
yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
3. Bagian Akhir
Bagian terakhir
cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise).
Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut
mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo
Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha untuk membelikan kain
kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut
menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu
Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia
meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).
Penyelesaian
yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang
yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh
istrrinya untuk membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab?
Lalu di mana salahnya?
Jika struktur
alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur
regresif atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena
benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu
diceritakan.
Kalau beberapa
tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di
ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri
surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi
dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya.
Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah
pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?”
Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?” (hlm.16).
e.
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.
a.
Tokoh Aku
Tokoh ini
begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si
Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau.
Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang
lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku
ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak
membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku
ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku
dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi
kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo
Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama
istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
b.
Ajo Sidi
Tokoh ini
sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan
keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang
bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo
Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang
mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk
ini seperti berikut.
.Maka aku ingat
Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu
dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang
dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena
ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya
ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya.
Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku
ceritanya….(hlm.8-9)
Dari data ini
pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.
c.
Si Kakek
Tokoh ini
agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang
tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang
mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran
watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal
yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu
seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan
pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi.
Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi
hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia
segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan
gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri
digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
“ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
d.
Haji Saleh
Tokoh ini
adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir
orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan
karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan
gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri
sendiri.
f.
Titik Pengisahan
Yang dimaksud
dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita tersebut.
Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya
sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di dalam cerpen
Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita ini
sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat
di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau beberapa
tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan
berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan tetapi,
ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini
diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai
tokoh bawahan. Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan
tetapi yang sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin
menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”.
Walaupun begitu kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh.
Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
g.
Gaya
Gaya merupakan
sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara pengungkapan
seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa
spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang
pengarang dalam memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan
ungkapan.
Di dalam cerpen
ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang
keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah,
Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan,
beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu,
Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain ini,
pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam
cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini
merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya
pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan
kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh
kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah
menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang
keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini
tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam
kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan
kelompoknya.
Sedangkan majas
yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di dalam
cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan
kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini
merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama,
moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat
dominan dalam cerpen ini
Selain majas
alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang
diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia
sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8).
Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita sekarang ini. Dengan demikian
penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati sekaligus
mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil.
Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat
tempat di hati pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.
5.
Cerpen Robohnya
Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di Kelas.
Cerpen sebagai salah satu karya sastra
jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya karya sastra yang lain.
Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat
mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan
pengertian perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal.
Oleh karena itu dapat memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat
dijadikan bahan/materi pembelajaran sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan
cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus mengikuti kriteria yang
sudah ditetapkan secara umum yaitu:
a.
Dilihat dari segi
bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang
Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik
dan pilihan katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang
keagamaan.
b.
Latar belakang budaya
yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang beragama
Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak
menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata
islami, hal ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan
dengan kosa kata non-Islam yang sejenis.
Berdasarkan kriteria-kritera inilah
kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan ajar untuk
pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu,
akan lebih menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan
siswanya dalam menelaah cerpen tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran
sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar, guru dan siswanya pun
haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan coba-coba
membaca ringkasannya.
6. Kesimpulan
Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis ini memang sebuah
sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur
intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan pembelajaran. Adapun hasil
analisisnya sebagai berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a.
Tema Tema
cerpen ini adalah seorang kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b.
Amanat Amanat cerpen ini adalah :
1) jangan cepat
marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat
bangga kalau berbuat baik,
3) jangan
terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan
menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan
egois.
c.
Latar
Latar yang ada
dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d.
Alur
Alur cerpen ini
adalah alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu
yaitu sebab-sebab kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian
awal, tengah, dan akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian
awal dan berakhir di awal bagian akhir.
e.
Penokohan
Tokoh dalam
cerpen ini ada empat orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1) Tokoh Aku
berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
2) Ajo Sidi
adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah
orang yang egois dan lalai, mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh
yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri.
f.
Titik
Pengisahan
Titik
pengisahan cerpen ini yaitu pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan
sertaan) sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita.
Selain itu
pengarang pun berperan sebagai tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang
Haji Soleh di depan tokoh aku.
g.
Gaya
Di dalam cerpen
ini pengarang benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan
sinisme.
Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen
Robohnya Surau Kami sangat cocok /layak jika dijadikan bahan ajar dalam
pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh
siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk
dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih
sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya
yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang
budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria
ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu
pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen
tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif
ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan
minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.
7. Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas,
penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk guru
·
Guru yang sudah berani
menetapkan cerpen sebagai bahan pembelajaran sastra harus pula membacanya
berkali-kali agar memahami isinya.
·
Di dalam kegiatan pembelajaran,
guru harus mampu membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap cerita
tersebut kemudian mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa sehingga ketika
siswa membahas cerita itu, bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa.
·
Pemilihan bahan/materi
pembelajaran sastra yang berbentuk cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang
ada, yaitu bagaimana bahasanya, bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik untuk
tokoh cerita maupun pembacanya yang duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar
budaya yang dimunculkan dalam cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru
sebelum pembelajaran dimulai.
2. Saran untuk siswa
·
Sebaiknya siswa harus
membaca cerpennya secara utuh berkali-kali agar memahami isinya.
·
Selain itu, baca pula
buku-buku yang mengulas isi cerpen itu jika ada.
·
Berdiskusilah dengan
penuh minat dan perhatian agar manfaat sastra bisa dirasakan
·
Jika mungkin dan
sempat, ikutilah setiap seminar atau diskusi sastra di manapun
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,
Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Badudu, J.S. 1979. Sari
Kesusasteraan Indonesia Jilid 2. Bandung: Pustaka Prima.
Departemen Pendidikan
Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dinas Kebudayaan DKI
Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni Budaya Jakarta: Dinas Kebudayaan
DKI Jakarta.
Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan:
Pengantar teori dan sejarah. Bandung: Angkasa.
Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.
Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.
Hoerip, Satyagraha.1984.
Cerita Pendek Indonesia 1. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Koentjaraningrat.
1997. Metode-metode Penelitian Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Prima.
Lubis, Mochtar. 1980. Teknik
Mengarang. Jakarta : Kurnia Esa.
Sayuti, Suminto
A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sukada, Made.1987. Pembinaan
Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika
Analisis Struktur
Fiksi. Bandung : Angkasa.
Suroto.1989. Teori
dan Pembimbingan Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga.
Tarigan, Henri
Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
BAB 3
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
“Tidak sedikit peminat sastra yang
merasa kecewa melihat perkembangan kritik sastra dewasa ini, khususnya yang
berlaku dan dilakukan di lingkungan akademis. Yang diharapkannya dari kritik
sastra adalah suatu kritik, yakni suatu tanggapan yang mengandung penilaian
tentang baik-buruk, tinggi-rendah mutu dan berhasil-tidaknya karya sastra yang
konkret dihadapi penelaah. Harapan itu tidak terkabul karena yang
disibukkan para dosen dan mahasiswa perguruan tinggi adalah pemahaman berbagai
teori sastra modern yang kebanyakan bersifat formalitas.”
Istilah kritik sastra akademik, atau yang sering diistilahkan pula dengan
kritik ilmiah sering ditujukan pada kritik sastra yang ditulis dalam pola-pola
tertentu, antara lain secara format mengacu pada Teknik Penulisan Ilmiah (TPI);
mendasarkan diri pada teori dan metode tertentu dalam pengkajiannya serta
dieksplisitkan, dan menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah (baku). Jenis
kritik ini dapat dilihat pada skripsi, tesis, disertasi, makalah, artikel
jurnal, dan sejenisnya. Kritik sastra ini umumnya ditulis kalangan akademik:
mahasiswa, dosen, peneliti di lembaga lembaga bahasa dan sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar