KONSTRUKSI
GENDER DAN PERJODOHAN PADA NOVEL
“TENGGELAMNYA
KAPAL VAN DER WIJCK” DAN “DI BAWAH
LINDUNGAN KA’BAH” KARANGAN HAMKA DALAM LINGKUP BUDAYA MINANG DENGAN TEORI
SOSIOLOGI SASTRA
|
Oleh
Dian Lestari
(A1A010049)
Dosen:
Bustanuddin Lubis, M.A.
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
BENGKULU
2013
PENDAHULUAN
Dengan mengucapkan syukur ke hadirat
Allah SWT. Berkat bimbingan serta petunjuk-Nya penulis padat menyelesaikan
tugas ini dengan baik.
Ucapkan terimakasih kepada dosen
Bustanuddin Lubis, M.A. yang mana telah banyak memberikan masukkan, dan materi
pembelajaran tentang Sastra Bandingan. Begitu juga kepada teman-teman yang
telah banyak membantu dalam pembuatan makalah yang berjudul “Konstruksi
Gender dan Perjodohan Pada Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck” Dan “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Karangan Hamka Dalam Lingkup Budaya
Minang Dengan Teori Sosiologi Sastra” ini.
Ketertarikan penulis terhadap budaya
masyarakat Minang dan perjodohan didalamnya melatar belakangi penulis mengambil
judul yang demikian.
Penulis menyadari bahwa tugas ini tidak
lepas dari kesalahan dan kekurangan untuk itu diharapkan kritik dan saran dari
para pembaca agar pembuatan makalah mendatang menjadi lebih baik.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi
rekan-rekan pembaca dan digunakan sebaik-baiknya oleh teman-teman dan semoga
dapat memperluas dan serta memperdalam ilmu pembaca.
Bengkulu, Januari 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Karya satra akan selalu menarik
perhatian karena mengungkapkan penghayatan manusia yang paling dalam, dalam perjalan
hidupnya disegala zaman, disegala tempat didunia ini. Novel sebagai salah satu
produk sastra memegang peran penting didalam memberikan berbagai kemungkinan
menyikapi kehidupan.
Satra indonesia memiliki
bermacam-macam aliran, sastra Indonesia dikemas dengan begitu apik dengan
mencantumkan berbagai kebudayaan serta amanat-amanat yang sangat menarik bagi
penikmat sastra.
“Sastra”, istilah yang sudah tidak asing lagi di
telinga kita. Dahulu kita anggap sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan
puisi dan prosa ternyata tidak sesederhana itu. Kita harus banyak menggali dan
mempelajarai lebih banyak lagi segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra
tersebut. Sastra tersebut dapat diibaratkan dengan samudra yang sangat luas,
yang memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat mengukur kedalamannya dan
memanfaatkan kekayaannya.
Novel sebagai salah satu hasil karya sastra sangat
menarik untuk kita ketahui dan pelajari. Di dalam novel kita akan menemukan
beberapa unsur yang membentuknya. Kita mengetahui bersama bahwa setiap karya
sastra selalu ada unsur yang membangunnya. Unsur-unsur tersebut bersatu padu
sehingga menghasilkan gabungan yang membentuk karya sastra.
Dalam khazanah kesusastraan
bangsa-bangsa di dunia ditemukan begitu banyak karya yang menunjukkan
kesamaan-kesamaan. Kadang-kadang, kesamaan itu bukan saja menyangkut
unsur-unsur tertentu di dalam teks, melainkan wujud teks secara keseluruhan.
Dari sering kesamaan yang terjadi,
muncul tiga teori yang berhubungan dengan gejala tersebut. Teori pertama
mengatakan bahwa kesamaan dimungkinkan oleh adanya proses migrasi, teori kedua
oleh adanya pengaruh-memengaruhi, dan teori ketiga yaitu karena sifat
“kebetulan” semata, bahwa manusia, di mana pun ia berada, selalu menghadapi
persoalan kemanusiaan yang sama dalam hidupnya-pencarian Tuhan, makna cinta,
keadilan, kematian, dan sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pendahuluan diatas, adapun
rumusan masalah pada pembahasan ini yaitu konstruksi gender dalam kaitannnya
dengan perjodohan pada novel
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dan “Di
Bawah Lindungan Ka’bah” karangan Hamka dalam lingkup budaya minang dengan
teori sosiologi sastra.
C.
Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan ini,
adalah sebagai studi yang menjelaskan konstruksi gender dalam kaitannnya dengan
perjodohan pada novel
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dan “Di
Bawah Lindungan Ka’bah” karangan Hamka dalam lingkup budaya minang dengan
teori sosiologi sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSTRUKSI
GENDER DAN PERJODOHAN PADA NOVEL
“TENGGELAMNYA
KAPAL VAN DER WIJCK” DAN “DI BAWAH
LINDUNGAN KA’BAH” KARANGAN HAMKA DALAM LINGKUP BUDAYA MINANG DENGAN TEORI
SOSIOLOGI SASTRA
Suwardi Endraswara (2003:143) sejak
dulu karya sastra telah menjadi culture
regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Paham wanita
dengan seorang yang lemah lembut, permata, bunga dan sebaliknya pria sebagai
orang yang cerdas, aktif, dan sejenisnya selalu mewarnai sastra kita. Ciri
wanita dan pria tersebut seakan-akan telah mengakar di benak penulis sastra.
Sampai sekarang, paham yang sulit
dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita. Hampir seluruh
karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun wanita, dominasi
pria selalu kuat. Figur pria terus menjadi the
authotity, sehingga mengamsumsikan bahwa wanita adalah impian.
Dalam karya sastra Indonesia
pengarang sering menceritakan romantika yang mengerah pada ekonomi, persoalan
adat yang bisa saja akhir-akhirnya mengarah kepada perjodohan seperti yang
dialami oleh tokoh wanita Siti Nurbaya dan tidak jarang ada juga tokoh pria. Namun
persoalan demikian banyak mengarah kepada kaum hawa yang dinilai lemah lembut
dan tidak dapat menentang hal tersebut.
Roman yang dikarang oleh Prof. Dr.
Hamka. Mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan persoalan
kekayaan yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih.
Sejak berumur
9 bulan, Zainuddin telah ditinggalkan Daeng Habibah ibunya, menyusul kemudian
ayahnya yang bernama Pendekar Sutan. Zainuddin tinggal bersama bujangnya, Mak Base,
Kira-kira 30 tahun yang lalu, ayahnya punya perkara dengan Datuk Mantari Labih
mamaknya, soal warisan. Dalam suatu pertengkaran Datuk Mantari terbunuh.
Pendekar Sutan kemudian dibuang ke Cilacap selama 15 tahun. Setelah selesai
masa hukumannya, ia dikirim ke Bugis untuk menumpas pemberontakan yang melawan
Belanda. Di sanalah Pendekar Sutan bertemu dengan Daeng Habibah. Untuk mencari
keluarga ayahnya, Zainuddin pergi ke desa Batipuh di Padang. Di Padang ia
tinggal di rumah saudara ayahnya, Made Jamilah. Sebagai seorang pemuda yang
datang dari Makasar, ia merasa asing di Padang. Apalagi tanggapan
saudara-saudaranya demikian. Demikian pula ketika ia dapat berkenalan dengan
Hajati karena meminjamkan payungnya pada gadis itu. Hubungan antara Zainuddin
dan Hajati makin hari tersiar ke seluruh dusun dan Zainuddin tetap dianggap
orang asing bagi keluarga Hajati maupun orang-orang di Batipuh.
Untuk menjaga
nama baik kedua orang muda dan keluarga mereka masing-masing, Zainuddin disuruh
meninggalkan Batipuh oleh mamak Hajati. Dengan berat hati Zainuddin
meninggalkan Batipuh menuju Padang Panjang. Di tengah jalan Hajati menemuinya
dan mengatakan bahwa cintanya hanya untuk Zainuddin.
Zainuddin
menerima kabar bahwa Hajati akan pergi ke Padang Panjang untuk melihat pacuan
kuda atas undangan sahabat Hajati yang bemama Chadidjah. Zainuddin hanya dapat
bertemu pandang di tempat itu karena bersama orang banyak ia terusir dari pagar
tribune. Pertemuan yang sekejap itu membuat Hajati mendapat ejekan dari
Chadidjah. Chadidjah sendiri sebenamya bermaksud menjodohkan Hajati dengan
Aziz, kakak Chadidjah sendiri.
Karena merasa
cukup mempunyai kekayaan warisan dari orang tuanya setelah Mak Base meninggal,
Zainuddin mengirim surat lamaran pada Hajati. Temyata surat Zainuddin bersamaan
dengan lamaran Aziz. Setelah diminta untuk memilih, Hajati memutuskan memilih
Aziz sebagai calon suaminya. Zainuddin kemudian sakit selama dua bulan karena
Hajati menolaknya. Atas bantuan dan nasehat Muluk, anak induk semangnya,
Zainuddin dapat merubah pikirannya. Bersama Muluk, Zainuddin pergi ke Jakarta.
Dengan nama
samaran "Z", Zainuddin kemudian berhasil menjadi pengarang yang amat
disukai pembacanya. la mendirikan perkumpulan tonil "Andalas", dan
kehidupannya telah berubah menjadi orang terpandang karena pekerjaannya.
Zainuddin melanjutkan usahanya di Surabaya dengan mendirikan penerbitan
buku-buku.
Karena
pekeriaan Aziz dipindahkan ke Surabaya, Hajati pun mengikuti suaminya. Suatu
kali, Hajati mendapat sebuah undangan dari perkumpulan sandiwara yang dipimpin
dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau "Z". Karena ajakan Hajati Aziz
bersedia menonton pertunjukkan itu. Di akhir pertunjukan baru mereka ketahui
bahwa Tuan Shabir atau "Z"adalah Zainuddin.
Hubungan
mereka tetap baik, juga hubungan Zainuddin dengan Aziz. Perkembangan
selanjutnya Aziz dipecat dari tempatnya bekerja karena hutang yang menumpuk dan
harus meninggalkan rumah sewanya karena sudah tiga bulan tidak membayar, bahkan
barang-barangnya disita untuk melunasi hutang. Selama Aziz di Surabaya, ia
telah menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak baik. la sering keluar malam
bersama perempuan jalang, berjudi, mabuk-mabukan, serta tak lagi menaruh cinta
pada Hajati. Akibatnya, setelah mereka tidak berumah lagi. Mereka terpaksa
menumpang di rumah Zainuddin.
Setelah
sebulan tinggal serumah, Aziz pergi ke Banyuwangi meninggalkan isterinya
bersama Zainuddin. Sepeninggal Aziz, Zainuddin sendiri pun jarang pulang,
kecuali untuk tidur. Suatu ketika Muluk memberi tahu pada Hajati bahwa
Zainuddin masih mencintainya. Di dalam kamar kerja Zainuddin terdapat gambar
Hajati sebagai bukti bahwa Zainuddin masih mencintainya.
Beberapa hari
kemudian diperoleh kabar bahwa Aziz telah menceraikan Hajati. Aziz meminta
supaya Hajati hidup bersama Zainuddin. Dan kemudian datang pula berita dari
sebuah surat kabar bahwa Aziz telah bunuh diri meminum obat tidur di sebuah
hotel di Banyuwangi.
Hajati meminta
kesediaan Zainuddin untuk menerimanya sebagai apa saja, asalkan ia dapat
bersama-sama serumah dengan Zainuddin. Permintaan itu tidak diterima baik oleh
Zainuddin, ia bahkan amat marah dan tersinggung karena lamarannya dulu pemah
ditolak Hajati, dan sekarang Hajati ingin menjadi isterinya. la tidak dapat
menerima perlakuan Hajati.
Dengan kapal
Van Der Wijck, Hajati pulang atas biaya Zainuddin. Namun Zainuddin kemudian
berpikir lagi bahwa ia sebenamya tidak dapat hidup bahagia tanpa Hajati. Oleh
sebab itulah setelah keberangkatan Hajati ia berniat menyusul Hajati untuk
dijadikan isterinya. Zainuddin kemudian menyusul naik kereta api malam ke
Jakarta.
Harapan
Zainuddin temyata tak tercapai. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hajati
tenggelam di perairan dekat Tuban. Hajati tak dapat diselamatkan. Karena
luka-luka di kepala dan di kakinya akhimya ia meninggal dunia. Jenazahnya
dimakamkan di Surabaya.
Sepeninggal
Hajati, kehidupan Zainuddin menjadi sunyi dan kesehatannya tidak terjaga.
Akhimya pengarang terkenal itu meninggal dunia. Ia dimakamkan di sisi makam
Hajati.
Kasih
tak sampai memang sering terjadi karena adanya perbedaan status sosial, tidak
hanya di novel-vovel karangan Hamka, namun dalam kenyataan hidup yang modern
pun hal tersebut bukan merupakan suatu rahasia. Begitulah estetika kehidupan
yang tidak selalu mulus, penuh dengan dinamika yang membuatnya jadi lebih bermakna.
Terciptanya roman lain karya Hamka berkisah tentang
kasih tak sampai pula. Sepertinya pada cerita kali ini pengarang mengutamakan
perjuangan, yang tak sampai karena sebuah perpisahan. Alur cerita dalam roman
ini merupakan sorot balik (flashback) karena tokoh cerita dikisahkan oleh aku
sebagai pencerita. Aku mengisahkan peristiwa yang dialami oleh tokoh utama.
Pada tahun
1927 aku berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di sana aku
bertemu dengan seorang pemuda yang berasal dari Padang juga, bernama Hamid.
Hamid adalah anak yatim yang hanya hidup dengan ibunya yang miskin. Untuk
membantu kehidupan ibunya, Hamid terpaksa berhenti sekolah dan mencari uang
dengan berjualan kue. Hamid berkenalan dengan haji Ja'far yang mempunyai
seorang anak perempuan bernama Zainab. Karena melihat ketelantaran anak itu,
maka haji Ja'far sanggup membeayai sekolah Hamid. Begitulah Hamid akhirnya
berhenti berjualan kue dan mulai sekolah kembali.
Karena Zainab sudah akil balik, maka menurut adat dia harus berhenti
sekolah. Sedang Hamid masih dapat melanjutkan sekolahnya. Namun sekolah Hamid
yang lebih tinggi hanya ada di Padang Panjang. Hamid terus melanjutkan sekolah
agamanya di kota tersebut dengan biaya haji Ja'far. Sedangkan Zainab masuk
pingitan sampai datang orang melamar.
Tiba-tiba haji Ja'far meninggal dunia karena usianya. Hamid tak ada lagi
yang membiayai sekolahnya, akibatnya Hamid harus menghentikan pendidikannya.
Sementara itu hubungan Hamid dan Zainab sudah berkembang bukan lagi sebagai
kakak adik, tetapi sudah menginjak hubungan percintaan, meskipun keduanya
membisu dan tak pernah mengungkapkannya dalam kata-kata.
Setelah mendengar berita kematian haji Ja'far, Hamid segera pulang ke Padang.
Dalam perjumpaannya dengan keluarga almarhum Ja'far, Hamid dapat merasakan
adanya api cinta di mata Zainab terhadapnya. Namun gelora cinta itu tetap hanya
dipendam di hati masing-masing.
Tidak lama kemudian ibu Hamid pun jatuh sakit pula. Dan sebelum meninggal
dunia, ibu ini berpesan kepada anaknya agar tidak melangkah lebih jauh dalam
mencintai Zainab. Lebih baik Hamid memutuskan segera rasa cintanya kepada
Zainab.
Setelah ibunya meninggal dunia, Hamid seringkali mengasingkan diri. Pada
suatu kali ia bertemu dengan ibu Zainab yang telah lama tidak menjumpainya.
Hamid diminta oleh ibu Zainab untuk datang ke rumahnya. Ketika Hamid datang ke
rumah keluarga almarhum Ja'far, ia menjumpai Zainab sedang seorang diri saja di
rumah.
Dalam kekosongan rumah itu keduanya berbincang-bincang dengan asyik. Ketika
Hamid ingin menanyakan kepada Zainab apakah Zainab masih terus ingat kepadanya,
tiba-tiba ibu Zainab datang. Gadis itu hampir saja menyatakan rasa cintanya
kepada Hamid, namun tak sampai terucapkan karena kedatangan ibunya itu.
Ibu Zainab menyuruh Hamid datang ke rumahnya, ternyata memang ada perkara
yang hendak dibicarakannya, yakni perkara lamaran terhadap Zainab. Salah
seorang keponakannya melamar Zainab, tetapi Zainab rupanya tidak cocok,
sehingga ibunya meminta jasa baik Hamid agar mau membujuk "adiknya"
untuk menerima lamaran itu.
Karena hancur hatinya kehilangan gadis yang dicintainya secara diam-diam
tetapi sangat mendalam itu, Hamid memutuskan untuk meninggalkan tanah
kelahirannya. Berkat bantuan seorang ulama ia dapat meninggalkan Indonesia dan
pergi ke tanah Saudi Arabia. Sepeninggal Hamid, Zainab juga hancur hatinya. Dan
ia menolak paksaan ibunya untuk menikah dengan pemuda kerabatnya yang tak
dicintainya itu. Untung calon suaminya memahami dan akhirnya mengundurkan
diri.
Di Mekah inilah Hamid mengetahui seluruh riwayat Zainab sepeninggalnya dari
Indonesia. Ketika seorang pemuda Indonesia bernama Saleh yang sedang belajar di
Mesir melakukan perjalanan pulangnya ke Indonesia, dan dia sempat singgah di
perkemahan kami, diketahuinyalah bahwa Zainab masih sangat mencintai Hamid.
Ungkapan perasaan cinta Zainab ini ditulis dalam salah satu surat isteri
Saleh yang bersahabat dengan Zainab. Namun sebelum percintaan ini dapat
dilanjutkan kembali, diterima kabar bahwa Zainab telah mendahului meninggal
dunia akibat tak kuat menanggung beban asmara yang telah lama
ditanggungnya.
Perasaan
Hamid hancur dan nampak badannya makin melemah. Begitulah setelah kami selesai
melakukan ibadah, di tengah doa ribuan umat, di bawah lindungan ka'bah, Hamid
meninggal dunia.
Dengan latar belakang budaya minang yang masih kental, Zainab ketika
memasuki masa balik tidak boleh sekolah lagi dan memasuki masa pingit, hingga
sampai ada lelaki yang melamarrnya. Sepertinya adat tersebut membuat wanita
seakan dibatasi oleh dunia luar yang sebetulnya perlu.
Adanya gejolak cinta yang dirasakan seorang laki-laki kepada wanita, pada
novel Karangan Hamka ini terlihat sosok lelaki yang begitu mencintai wanita.
Zainab yang dijodohkan ibunya dengan keponakannya membuat hati Hamid hancur dan
memutuskan pergi ke tanah Sauni Arabia. Hamid selalu kelihatan murung, begitu
juga Zainab yang ditinggal pergi Hamid pun sering sakit-sakitan.
Wanita memang lemah dan tak berdaya, hanya tangisan yang sering mereka
ungkapkan dalam separuh waktu hidupnya. Wanita selalu menginginkan laki-laki
yang bisa menghapus luka dan tangisnya.
Penulis menceritan berbagai macam keadaan wanita, kedua cerita ini mengangkat
kisah wanita, yang akhirnya mati karena perjuangan cinta dihidupnya, sedangkan
lelaki seolah-olah menyesal karena terlambat mengakui sehingga dalam selang
beberapa waktu menyusul mati pula.
Suwardi Endraswara (2003: 77)
sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.
Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai
cermin kehidupan masyarakat. Pengarang melatar-belakangi Minang pada kedua
cerita ini karena pada dasarnya masyarakat Minangkabau tumbuh dalam kondisi
sosial yang selalu ingin berubah menuju arah perbaikan. Sosiologi sastra ini
juga mengarah kepada permasalah yang dihadapi oleh manusia.
Permasalah ekonomi keluarga
menjadikan Hamid tidak mampu berbuat banyak, begitu juga Zainuddin yang kalah
harta dengan Aziz. Budaya minang cenderung sering melakukan sistem perjodohan.
Menjodohkan anak-anak mereka dengan orang-orang tedekat seperti keponakan atau
sahabat dekat, atau istilahnya kembali ke bako. Selain itu lebih mengutamakan
kekayaan, dan matrealistis sangat jelas terlihat, tanpa memperdulikan perasaan
lagi.
Bustanuddin Lubis (2008:14) Ilmu
satra menjadi pijakan sastra bandingan. Oleh karena itu melalui ilmu sastra itu
akan dapat dilihat apakah karya satra satu dengan karya satra lain saling bersinggungan
atau tidak.
Kedua cerita ini saling
bersinggungan bermotif hampir sama, yaitu berpokok pada seorang laki-laki yang
tidak cukup uang untuk melamar wanita yang dicintainya karena wanita tersebut
adalah orang kaya (perbedaan status sosial). Cerita yang akhirnya menjadikan
kasih tak sampai.
Cerita Pertama: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Zainuddin berkenalan dengan
Hayati, mereka saling suka, Zainuddin melamar Hayati, Hayati memilih menikah
dengan lelaki yang dijodohkan temannya, Zinuddin sakit-sakitan, Pergi
meninggalkan kotanya, sukses, Hayati kembali, Zainuddin menolak, Hayati
meninggal, Zainuddin menyesal, Zainuddin Meninggal.
Cerita Kedua: Di Bawah Lindungan Ka’bah . Hamid berkenalan dengan Zainab, saling
suka, Zainab dijodohkan dengan keponakan ibunya, Hamka pergi meninggalkan kota kerena
sakit hati, Zainab sakit-sakitan, Hamid sakit-sakitan, Zainab Meninggal, Hamid
meninggal
Dari kedua cerita tergambar bahwa
kematian mengakhiri kisah kasih mereka. Kalau jalannya seperti ini bagaimana tokoh
dapat membangun sosialisme antara sesama tokoh, kerena yang dilewatinya adalah
keadaan keterpurukan karena cinta. Apakah betul cinta dapat menutup seseorang
untuk berbaur, padahal hakikat manusia adalah makhluk sosial.
Teori Sosiologi
mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia
berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga
sosial dan segala masalah ekonomi, perjodohan, agama, politik dan lain-lain,
yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran
tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang
mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat
di tempatnya masing-masing.
Didaerah minangkabau,
prosesi perjodohan dimasyarakatnya sangat kental. Setiap membahas soal kawin
paksa karena perjodohan, selalu dikaitkan dengan kisah Siti Nurbaya. Kisah Siti
Nurbaya karya Marah Rusli ini adalah kisah fenomenal yang dikenal oleh rakyat
indonesia.Kita dapat melihat keterkaitan kisah Siti Nurbaya dengan kenyataan
dalam adat di minangkabau. Orang sudah banyak yang tahu bagaimana perjodohan
Siti nurbaya, tapi tidak banyak yang tahu seperti apa proses perjodohan di
minangkabau. Tradisi berbaur inilah yang merupakan wadah perjodohan di minangkabau.
Hingga kini tradisi
berbaur ini masih ada. Tetapi tidak seperti tradisi sebelumnya. Dahulu orang
cari jodoh ketika prosesi berbaur ini. Artinya, diadakan dulu acara berbaur,
baru bisa dapat jodoh. Sekarang terbalik, dapat jodoh dulu baru bisa diadakan
acara berbaur.
Bagi keluarga yang
mempunyai anak perempuan dan sudah patut untuk menikah, maka pihak keluarga
terlebih dahulu mengadakan acara berbaur. Dalam acara ini pihak keluarga
mengundang para ninik mamak, urang sumando (suami\istri dari keluarga besar)
alim ulama dan pemuda setempat.
Sebelum perjodohan
terjadi, acara berbaur ini dihiasi dengan perang mulut atau istilahnya petatah
petitih.
Kemudian, para undangan
dipersilahkan mengajukan masing-masing 5 ayam. Maksud ayam disini adalah
mengajukan 5 orang bujangan yang akan di jodohkan dengan anak perempuan. Pihak
urang sumando mengajukan 5 ayam, ninik mamak 5 ayam dan 5 ayam dari ketua
pemuda setempat.
Barulah pihak keluarga
memilih mana “ayam” yang cocok untuk anaknya. Si perempuan diberikan kebebasan
untuk memilih “ayam” dari pihak mana yang akan ia pilih. Setelah ia memilih
satu ayam, maka akan ada lagi proses berikut, yaitu manyisiak (menyisir). Dalam
manyisiak, mamak dari si perempuan melakukan “jalan malam”. Jalan malam adalah
pergi bertamu ke rumah keluarga pihak laki-laki yang telah dipilih oleh
kemenakanya.
Jika si laki-laki
setuju dengan perjodohan ini, maka dilanjutkan ke proses berikutnya hingga
perkawinan. Jika si laki-laki tidak setuju, maka perempuan tadi dipersilahkan
memilih “ayam” lain yang diajukan dalam prosesi berbaur tadi. Begitu seterusnya
dari ayam satu ke “ayam” satunya lagi hingga si perempuan menemukan jodohnya.
Sepertinya cara
masyarakat bersosial masyarakat Minangkabau adalah dengan menjodoh-jodohkan
anak mereka, agar silahturahmi semakin erat perjodohhan bisanya dilakukan
dengan sanak saudara mereka yang jika dilihat masih ada hubungan yang sangat
dekat. Kalau begini, menurut saya dapat menutup diri karena lingkup sosialnya
hanya itu-itu saja. Seiring perkembangan zaman nampaknya budaya tersebut
bertransformasi, hanya penduduk yang masig tinggal di Padang yang
menggunakannya, sedangan masyarakat yang merantau tak sedikit yang
menghilangkannya, karena terpikat dengan wanita-wanita lain yang bukan berdarah
minang.
Hal-hal semacam itu
menjadikan studi sosiologi menjadi amat populer, yaitu melalui pendekatan
cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadai cermin pada
zamannnya.
Suwardi Endraswara
(2003:88) konteks sastra sebagai cermin, menurut Vicomte de Donald hanya
merefleksi keadaan pada saat tertentu. Istilah cermin ini akan merujuk pada
berbagai perubahan dalam masyarakat, yang menjadikannnya saksi dari sebuah
zaman yang berkembang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kedua novel ini memang
berlatar belakang kebudayaan Minang didalamnya. Masyarakatnya dulu memang
sering melakukan perjodohan kepada anak-anaknya. Sebetulnya tidak hanya
dimasyarakat Minang saja, didalam masyarakat Jawa pun ada yang melaksanakan
sistem perjodohan.
Sistem perjodohan
dilakukan agar dapat meningkatkan taraf ekonomi keluarga, kerena biasanya
anak-anak mereka dijodohkan pada lelaki yang memiliki taraf perekonomian yang
lebih tinggi.
Dengan adanya kebiasaan
masyarakat yang demikian nampaklah bagaimana kehidupan sosial masyarakat minang
berkembang.
DAFTRA
PUSTAKA
Endraswara, Suwardi.
2003. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hamka. 2008. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta:
Bulan Bintang
_____. 2011. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta
Timur: Balai Pustaka
http://garammanis.com/2012/01/29/mengenal-proses-perjodohan-di-minangkabau/
Lubis, Bustanuddin.
2008. Sastra Bandingan. Bengkulu:
FKIP UNIB
Trisman, B. dkk. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra
Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa