Rabu, 16 Januari 2013

Suatu Kajian Sastra Bandingan



KONSTRUKSI GENDER DAN PERJODOHAN PADA NOVEL
“TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK” DAN “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” KARANGAN HAMKA DALAM LINGKUP BUDAYA MINANG DENGAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA


unib1.jpeg


Oleh
Dian Lestari
(A1A010049)

Dosen:
Bustanuddin Lubis, M.A.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2013

PENDAHULUAN
Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT. Berkat bimbingan serta petunjuk-Nya penulis padat menyelesaikan tugas ini dengan baik.
Ucapkan terimakasih kepada dosen Bustanuddin Lubis, M.A. yang mana telah banyak memberikan masukkan, dan materi pembelajaran tentang Sastra Bandingan. Begitu juga kepada teman-teman yang telah banyak membantu dalam pembuatan makalah yang berjudul Konstruksi Gender dan Perjodohan Pada Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” Dan “Di Bawah Lindungan Ka’bah” Karangan Hamka Dalam Lingkup Budaya Minang Dengan Teori Sosiologi Sastra ini.
Ketertarikan penulis terhadap budaya masyarakat Minang dan perjodohan didalamnya melatar belakangi penulis mengambil judul yang demikian.
Penulis menyadari bahwa tugas ini tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan untuk itu diharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar pembuatan makalah mendatang menjadi lebih baik.
Semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan pembaca dan digunakan sebaik-baiknya oleh teman-teman dan semoga dapat memperluas dan serta memperdalam ilmu pembaca.



                                                                    Bengkulu,  Januari 2013

                                                             Penulis



                                                                               



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Karya satra akan selalu menarik perhatian karena mengungkapkan penghayatan manusia yang paling dalam, dalam perjalan hidupnya disegala zaman, disegala tempat didunia ini. Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peran penting didalam memberikan berbagai kemungkinan menyikapi kehidupan.
Satra indonesia memiliki bermacam-macam aliran, sastra Indonesia dikemas dengan begitu apik dengan mencantumkan berbagai kebudayaan serta amanat-amanat yang sangat menarik bagi penikmat sastra.
“Sastra”, istilah yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dahulu kita anggap sebagai sesuatu yang hanya berhubungan dengan puisi dan prosa ternyata tidak sesederhana itu. Kita harus banyak menggali dan mempelajarai lebih banyak lagi segala sesuatu yang berhubungan dengan sastra tersebut. Sastra tersebut dapat diibaratkan dengan samudra yang sangat luas, yang memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat mengukur kedalamannya dan memanfaatkan kekayaannya.
Novel sebagai salah satu hasil karya sastra sangat menarik untuk kita ketahui dan pelajari. Di dalam novel kita akan menemukan beberapa unsur yang membentuknya. Kita mengetahui bersama bahwa setiap karya sastra selalu ada unsur yang membangunnya. Unsur-unsur tersebut bersatu padu sehingga menghasilkan gabungan yang membentuk karya sastra.
Dalam khazanah kesusastraan bangsa-bangsa di dunia ditemukan begitu banyak karya yang menunjukkan kesamaan-kesamaan. Kadang-kadang, kesamaan itu bukan saja menyangkut unsur-unsur tertentu di dalam teks, melainkan wujud teks secara keseluruhan.
Dari sering kesamaan yang terjadi, muncul tiga teori yang berhubungan dengan gejala tersebut. Teori pertama mengatakan bahwa kesamaan dimungkinkan oleh adanya proses migrasi, teori kedua oleh adanya pengaruh-memengaruhi, dan teori ketiga yaitu karena sifat “kebetulan” semata, bahwa manusia, di mana pun ia berada, selalu menghadapi persoalan kemanusiaan yang sama dalam hidupnya-pencarian Tuhan, makna cinta, keadilan, kematian, dan sebagainya.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan diatas, adapun rumusan masalah pada pembahasan ini yaitu konstruksi gender dalam kaitannnya dengan perjodohan pada novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dan “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karangan Hamka dalam lingkup budaya minang dengan teori sosiologi sastra.

C.    Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan ini, adalah sebagai studi yang menjelaskan konstruksi gender dalam kaitannnya dengan perjodohan pada novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” dan “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karangan Hamka dalam lingkup budaya minang dengan teori sosiologi sastra.


BAB II
PEMBAHASAN

KONSTRUKSI GENDER DAN PERJODOHAN PADA NOVEL
“TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK” DAN “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” KARANGAN HAMKA DALAM LINGKUP BUDAYA MINANG DENGAN TEORI SOSIOLOGI SASTRA

Suwardi Endraswara (2003:143) sejak dulu karya sastra telah menjadi culture regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Paham wanita dengan seorang yang lemah lembut, permata, bunga dan sebaliknya pria sebagai orang yang cerdas, aktif, dan sejenisnya selalu mewarnai sastra kita. Ciri wanita dan pria tersebut seakan-akan telah mengakar di benak penulis sastra.
Sampai sekarang, paham yang sulit dihilangkan adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita. Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun wanita, dominasi pria selalu kuat. Figur pria terus menjadi the authotity, sehingga mengamsumsikan bahwa wanita adalah impian.
Dalam karya sastra Indonesia pengarang sering menceritakan romantika yang mengerah pada ekonomi, persoalan adat yang bisa saja akhir-akhirnya mengarah kepada perjodohan seperti yang dialami oleh tokoh wanita Siti Nurbaya dan tidak jarang ada juga tokoh pria. Namun persoalan demikian banyak mengarah kepada kaum hawa yang dinilai lemah lembut dan tidak dapat menentang hal tersebut.
Roman yang dikarang oleh Prof. Dr. Hamka. Mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan persoalan kekayaan yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih.
Sejak berumur 9 bulan, Zainuddin telah ditinggalkan Daeng Habibah ibunya, menyusul kemudian ayahnya yang bernama Pendekar Sutan. Zainuddin tinggal bersama bujangnya, Mak Base, Kira-kira 30 tahun yang lalu, ayahnya punya perkara dengan Datuk Mantari Labih mamaknya, soal warisan. Dalam suatu pertengkaran Datuk Mantari terbunuh. Pendekar Sutan kemudian dibuang ke Cilacap selama 15 tahun. Setelah selesai masa hukumannya, ia dikirim ke Bugis untuk menumpas pemberontakan yang melawan Belanda. Di sanalah Pendekar Sutan bertemu dengan Daeng Habibah. Untuk mencari keluarga ayahnya, Zainuddin pergi ke desa Batipuh di Padang. Di Padang ia tinggal di rumah saudara ayahnya, Made Jamilah. Sebagai seorang pemuda yang datang dari Makasar, ia merasa asing di Padang. Apalagi tanggapan saudara-saudaranya demikian. Demikian pula ketika ia dapat berkenalan dengan Hajati karena meminjamkan payungnya pada gadis itu. Hubungan antara Zainuddin dan Hajati makin hari tersiar ke seluruh dusun dan Zainuddin tetap dianggap orang asing bagi keluarga Hajati maupun orang-orang di Batipuh.
Untuk menjaga nama baik kedua orang muda dan keluarga mereka masing-masing, Zainuddin disuruh meninggalkan Batipuh oleh mamak Hajati. Dengan berat hati Zainuddin meninggalkan Batipuh menuju Padang Panjang. Di tengah jalan Hajati menemuinya dan mengatakan bahwa cintanya hanya untuk Zainuddin.
Zainuddin menerima kabar bahwa Hajati akan pergi ke Padang Panjang untuk melihat pacuan kuda atas undangan sahabat Hajati yang bemama Chadidjah. Zainuddin hanya dapat bertemu pandang di tempat itu karena bersama orang banyak ia terusir dari pagar tribune. Pertemuan yang sekejap itu membuat Hajati mendapat ejekan dari Chadidjah. Chadidjah sendiri sebenamya bermaksud menjodohkan Hajati dengan Aziz, kakak Chadidjah sendiri.
Karena merasa cukup mempunyai kekayaan warisan dari orang tuanya setelah Mak Base meninggal, Zainuddin mengirim surat lamaran pada Hajati. Temyata surat Zainuddin bersamaan dengan lamaran Aziz. Setelah diminta untuk memilih, Hajati memutuskan memilih Aziz sebagai calon suaminya. Zainuddin kemudian sakit selama dua bulan karena Hajati menolaknya. Atas bantuan dan nasehat Muluk, anak induk semangnya, Zainuddin dapat merubah pikirannya. Bersama Muluk, Zainuddin pergi ke Jakarta.
Dengan nama samaran "Z", Zainuddin kemudian berhasil menjadi pengarang yang amat disukai pembacanya. la mendirikan perkumpulan tonil "Andalas", dan kehidupannya telah berubah menjadi orang terpandang karena pekerjaannya. Zainuddin melanjutkan usahanya di Surabaya dengan mendirikan penerbitan buku-buku.
Karena pekeriaan Aziz dipindahkan ke Surabaya, Hajati pun mengikuti suaminya. Suatu kali, Hajati mendapat sebuah undangan dari perkumpulan sandiwara yang dipimpin dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau "Z". Karena ajakan Hajati Aziz bersedia menonton pertunjukkan itu. Di akhir pertunjukan baru mereka ketahui bahwa Tuan Shabir atau "Z"adalah Zainuddin.
Hubungan mereka tetap baik, juga hubungan Zainuddin dengan Aziz. Perkembangan selanjutnya Aziz dipecat dari tempatnya bekerja karena hutang yang menumpuk dan harus meninggalkan rumah sewanya karena sudah tiga bulan tidak membayar, bahkan barang-barangnya disita untuk melunasi hutang. Selama Aziz di Surabaya, ia telah menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak baik. la sering keluar malam bersama perempuan jalang, berjudi, mabuk-mabukan, serta tak lagi menaruh cinta pada Hajati. Akibatnya, setelah mereka tidak berumah lagi. Mereka terpaksa menumpang di rumah Zainuddin.
Setelah sebulan tinggal serumah, Aziz pergi ke Banyuwangi meninggalkan isterinya bersama Zainuddin. Sepeninggal Aziz, Zainuddin sendiri pun jarang pulang, kecuali untuk tidur. Suatu ketika Muluk memberi tahu pada Hajati bahwa Zainuddin masih mencintainya. Di dalam kamar kerja Zainuddin terdapat gambar Hajati sebagai bukti bahwa Zainuddin masih mencintainya.
Beberapa hari kemudian diperoleh kabar bahwa Aziz telah menceraikan Hajati. Aziz meminta supaya Hajati hidup bersama Zainuddin. Dan kemudian datang pula berita dari sebuah surat kabar bahwa Aziz telah bunuh diri meminum obat tidur di sebuah hotel di Banyuwangi.
Hajati meminta kesediaan Zainuddin untuk menerimanya sebagai apa saja, asalkan ia dapat bersama-sama serumah dengan Zainuddin. Permintaan itu tidak diterima baik oleh Zainuddin, ia bahkan amat marah dan tersinggung karena lamarannya dulu pemah ditolak Hajati, dan sekarang Hajati ingin menjadi isterinya. la tidak dapat menerima perlakuan Hajati.
Dengan kapal Van Der Wijck, Hajati pulang atas biaya Zainuddin. Namun Zainuddin kemudian berpikir lagi bahwa ia sebenamya tidak dapat hidup bahagia tanpa Hajati. Oleh sebab itulah setelah keberangkatan Hajati ia berniat menyusul Hajati untuk dijadikan isterinya. Zainuddin kemudian menyusul naik kereta api malam ke Jakarta.
Harapan Zainuddin temyata tak tercapai. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hajati tenggelam di perairan dekat Tuban. Hajati tak dapat diselamatkan. Karena luka-luka di kepala dan di kakinya akhimya ia meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Surabaya.
Sepeninggal Hajati, kehidupan Zainuddin menjadi sunyi dan kesehatannya tidak terjaga. Akhimya pengarang terkenal itu meninggal dunia. Ia dimakamkan di sisi makam Hajati.
       Kasih tak sampai memang sering terjadi karena adanya perbedaan status sosial, tidak hanya di novel-vovel karangan Hamka, namun dalam kenyataan hidup yang modern pun hal tersebut bukan merupakan suatu rahasia. Begitulah estetika kehidupan yang tidak selalu mulus, penuh dengan dinamika yang membuatnya jadi lebih bermakna.
Terciptanya roman lain karya Hamka berkisah tentang kasih tak sampai pula. Sepertinya pada cerita kali ini pengarang mengutamakan perjuangan, yang tak sampai karena sebuah perpisahan. Alur cerita dalam roman ini merupakan sorot balik (flashback) karena tokoh cerita dikisahkan oleh aku sebagai pencerita. Aku mengisahkan peristiwa yang dialami oleh tokoh utama.
Pada tahun 1927 aku berkesempatan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Di sana aku bertemu dengan seorang pemuda yang berasal dari Padang juga, bernama Hamid.
Hamid adalah anak yatim yang hanya hidup dengan ibunya yang miskin. Untuk membantu kehidupan ibunya, Hamid terpaksa berhenti sekolah dan mencari uang dengan berjualan kue. Hamid berkenalan dengan haji Ja'far yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Zainab. Karena melihat ketelantaran anak itu, maka haji Ja'far sanggup membeayai sekolah Hamid. Begitulah Hamid akhirnya berhenti berjualan kue dan mulai sekolah kembali.
Karena Zainab sudah akil balik, maka menurut adat dia harus berhenti sekolah. Sedang Hamid masih dapat melanjutkan sekolahnya. Namun sekolah Hamid yang lebih tinggi hanya ada di Padang Panjang. Hamid terus melanjutkan sekolah agamanya di kota tersebut dengan biaya haji Ja'far. Sedangkan Zainab masuk pingitan sampai datang orang melamar.
Tiba-tiba haji Ja'far meninggal dunia karena usianya. Hamid tak ada lagi yang membiayai sekolahnya, akibatnya Hamid harus menghentikan pendidikannya. Sementara itu hubungan Hamid dan Zainab sudah berkembang bukan lagi sebagai kakak adik, tetapi sudah menginjak hubungan percintaan, meskipun keduanya membisu dan tak pernah mengungkapkannya dalam kata-kata.
Setelah mendengar berita kematian haji Ja'far, Hamid segera pulang ke Padang. Dalam perjumpaannya dengan keluarga almarhum Ja'far, Hamid dapat merasakan adanya api cinta di mata Zainab terhadapnya. Namun gelora cinta itu tetap hanya dipendam di hati masing-masing.
Tidak lama kemudian ibu Hamid pun jatuh sakit pula. Dan sebelum meninggal dunia, ibu ini berpesan kepada anaknya agar tidak melangkah lebih jauh dalam mencintai Zainab. Lebih baik Hamid memutuskan segera rasa cintanya kepada Zainab.
Setelah ibunya meninggal dunia, Hamid seringkali mengasingkan diri. Pada suatu kali ia bertemu dengan ibu Zainab yang telah lama tidak menjumpainya. Hamid diminta oleh ibu Zainab untuk datang ke rumahnya. Ketika Hamid datang ke rumah keluarga almarhum Ja'far, ia menjumpai Zainab sedang seorang diri saja di rumah. 
Dalam kekosongan rumah itu keduanya berbincang-bincang dengan asyik. Ketika Hamid ingin menanyakan kepada Zainab apakah Zainab masih terus ingat kepadanya, tiba-tiba ibu Zainab datang. Gadis itu hampir saja menyatakan rasa cintanya kepada Hamid, namun tak sampai terucapkan karena kedatangan ibunya itu. 
Ibu Zainab menyuruh Hamid datang ke rumahnya, ternyata memang ada perkara yang hendak dibicarakannya, yakni perkara lamaran terhadap Zainab. Salah seorang keponakannya melamar Zainab, tetapi Zainab rupanya tidak cocok, sehingga ibunya meminta jasa baik Hamid agar mau membujuk "adiknya" untuk menerima lamaran itu. 
Karena hancur hatinya kehilangan gadis yang dicintainya secara diam-diam tetapi sangat mendalam itu, Hamid memutuskan untuk meninggalkan tanah kelahirannya. Berkat bantuan seorang ulama ia dapat meninggalkan Indonesia dan pergi ke tanah Saudi Arabia. Sepeninggal Hamid, Zainab juga hancur hatinya. Dan ia menolak paksaan ibunya untuk menikah dengan pemuda kerabatnya yang tak dicintainya itu. Untung calon suaminya memahami dan akhirnya mengundurkan diri. 
Di Mekah inilah Hamid mengetahui seluruh riwayat Zainab sepeninggalnya dari Indonesia. Ketika seorang pemuda Indonesia bernama Saleh yang sedang belajar di Mesir melakukan perjalanan pulangnya ke Indonesia, dan dia sempat singgah di perkemahan kami, diketahuinyalah bahwa Zainab masih sangat mencintai Hamid.
Ungkapan perasaan cinta Zainab ini ditulis dalam salah satu surat isteri Saleh yang bersahabat dengan Zainab. Namun sebelum percintaan ini dapat dilanjutkan kembali, diterima kabar bahwa Zainab telah mendahului meninggal dunia akibat tak kuat menanggung beban asmara yang telah lama ditanggungnya. 
Perasaan Hamid hancur dan nampak badannya makin melemah. Begitulah setelah kami selesai melakukan ibadah, di tengah doa ribuan umat, di bawah lindungan ka'bah, Hamid meninggal dunia.
Dengan latar belakang budaya minang yang masih kental, Zainab ketika memasuki masa balik tidak boleh sekolah lagi dan memasuki masa pingit, hingga sampai ada lelaki yang melamarrnya. Sepertinya adat tersebut membuat wanita seakan dibatasi oleh dunia luar yang sebetulnya perlu.
Adanya gejolak cinta yang dirasakan seorang laki-laki kepada wanita, pada novel Karangan Hamka ini terlihat sosok lelaki yang begitu mencintai wanita. Zainab yang dijodohkan ibunya dengan keponakannya membuat hati Hamid hancur dan memutuskan pergi ke tanah Sauni Arabia. Hamid selalu kelihatan murung, begitu juga Zainab yang ditinggal pergi Hamid pun sering sakit-sakitan.
Wanita memang lemah dan tak berdaya, hanya tangisan yang sering mereka ungkapkan dalam separuh waktu hidupnya. Wanita selalu menginginkan laki-laki yang bisa menghapus luka dan tangisnya.
Penulis menceritan berbagai macam keadaan wanita, kedua cerita ini mengangkat kisah wanita, yang akhirnya mati karena perjuangan cinta dihidupnya, sedangkan lelaki seolah-olah menyesal karena terlambat mengakui sehingga dalam selang beberapa waktu menyusul mati pula.
Suwardi Endraswara (2003: 77) sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Pengarang melatar-belakangi Minang pada kedua cerita ini karena pada dasarnya masyarakat Minangkabau tumbuh dalam kondisi sosial yang selalu ingin berubah menuju arah perbaikan. Sosiologi sastra ini juga mengarah kepada permasalah yang dihadapi oleh manusia.
Permasalah ekonomi keluarga menjadikan Hamid tidak mampu berbuat banyak, begitu juga Zainuddin yang kalah harta dengan Aziz. Budaya minang cenderung sering melakukan sistem perjodohan. Menjodohkan anak-anak mereka dengan orang-orang tedekat seperti keponakan atau sahabat dekat, atau istilahnya kembali ke bako. Selain itu lebih mengutamakan kekayaan, dan matrealistis sangat jelas terlihat, tanpa memperdulikan perasaan lagi.
Bustanuddin Lubis (2008:14) Ilmu satra menjadi pijakan sastra bandingan. Oleh karena itu melalui ilmu sastra itu akan dapat dilihat apakah karya satra satu dengan karya satra lain saling bersinggungan atau tidak.
Kedua cerita ini saling bersinggungan bermotif hampir sama, yaitu berpokok pada seorang laki-laki yang tidak cukup uang untuk melamar wanita yang dicintainya karena wanita tersebut adalah orang kaya (perbedaan status sosial). Cerita yang akhirnya menjadikan kasih tak sampai.
Cerita Pertama: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Zainuddin berkenalan dengan Hayati, mereka saling suka, Zainuddin melamar Hayati, Hayati memilih menikah dengan lelaki yang dijodohkan temannya, Zinuddin sakit-sakitan, Pergi meninggalkan kotanya, sukses, Hayati kembali, Zainuddin menolak, Hayati meninggal, Zainuddin menyesal, Zainuddin Meninggal.
Cerita Kedua: Di Bawah Lindungan Ka’bah . Hamid berkenalan dengan Zainab, saling suka, Zainab dijodohkan dengan keponakan ibunya, Hamka pergi meninggalkan kota kerena sakit hati, Zainab sakit-sakitan, Hamid sakit-sakitan, Zainab Meninggal, Hamid meninggal
Dari kedua cerita tergambar bahwa kematian mengakhiri kisah kasih mereka. Kalau jalannya seperti ini bagaimana tokoh dapat membangun sosialisme antara sesama tokoh, kerena yang dilewatinya adalah keadaan keterpurukan karena cinta. Apakah betul cinta dapat menutup seseorang untuk berbaur, padahal hakikat manusia adalah makhluk sosial.
Teori Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, perjodohan, agama, politik dan lain-lain, yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.
Didaerah minangkabau, prosesi perjodohan dimasyarakatnya sangat kental. Setiap membahas soal kawin paksa karena perjodohan, selalu dikaitkan dengan kisah Siti Nurbaya. Kisah Siti Nurbaya karya Marah Rusli ini adalah kisah fenomenal yang dikenal oleh rakyat indonesia.Kita dapat melihat keterkaitan kisah Siti Nurbaya dengan kenyataan dalam adat di minangkabau. Orang sudah banyak yang tahu bagaimana perjodohan Siti nurbaya, tapi tidak banyak yang tahu seperti apa proses perjodohan di minangkabau. Tradisi berbaur inilah yang merupakan wadah perjodohan di minangkabau.
Hingga kini tradisi berbaur ini masih ada. Tetapi tidak seperti tradisi sebelumnya. Dahulu orang cari jodoh ketika prosesi berbaur ini. Artinya, diadakan dulu acara berbaur, baru bisa dapat jodoh. Sekarang terbalik, dapat jodoh dulu baru bisa diadakan acara berbaur.
Bagi keluarga yang mempunyai anak perempuan dan sudah patut untuk menikah, maka pihak keluarga terlebih dahulu mengadakan acara berbaur. Dalam acara ini pihak keluarga mengundang para ninik mamak, urang sumando (suami\istri dari keluarga besar) alim ulama dan pemuda setempat.
Sebelum perjodohan terjadi, acara berbaur ini dihiasi dengan perang mulut atau istilahnya petatah petitih.
Kemudian, para undangan dipersilahkan mengajukan masing-masing 5 ayam. Maksud ayam disini adalah mengajukan 5 orang bujangan yang akan di jodohkan dengan anak perempuan. Pihak urang sumando mengajukan 5 ayam, ninik mamak 5 ayam dan 5 ayam dari ketua pemuda setempat.
Barulah pihak keluarga memilih mana “ayam” yang cocok untuk anaknya. Si perempuan diberikan kebebasan untuk memilih “ayam” dari pihak mana yang akan ia pilih. Setelah ia memilih satu ayam, maka akan ada lagi proses berikut, yaitu manyisiak (menyisir). Dalam manyisiak, mamak dari si perempuan melakukan “jalan malam”. Jalan malam adalah pergi bertamu ke rumah keluarga pihak laki-laki yang telah dipilih oleh kemenakanya.
Jika si laki-laki setuju dengan perjodohan ini, maka dilanjutkan ke proses berikutnya hingga perkawinan. Jika si laki-laki tidak setuju, maka perempuan tadi dipersilahkan memilih “ayam” lain yang diajukan dalam prosesi berbaur tadi. Begitu seterusnya dari ayam satu ke “ayam” satunya lagi hingga si perempuan menemukan jodohnya.
Sepertinya cara masyarakat bersosial masyarakat Minangkabau adalah dengan menjodoh-jodohkan anak mereka, agar silahturahmi semakin erat perjodohhan bisanya dilakukan dengan sanak saudara mereka yang jika dilihat masih ada hubungan yang sangat dekat. Kalau begini, menurut saya dapat menutup diri karena lingkup sosialnya hanya itu-itu saja. Seiring perkembangan zaman nampaknya budaya tersebut bertransformasi, hanya penduduk yang masig tinggal di Padang yang menggunakannya, sedangan masyarakat yang merantau tak sedikit yang menghilangkannya, karena terpikat dengan wanita-wanita lain yang bukan berdarah minang.
Hal-hal semacam itu menjadikan studi sosiologi menjadi amat populer, yaitu melalui pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadai cermin pada zamannnya.
Suwardi Endraswara (2003:88) konteks sastra sebagai cermin, menurut Vicomte de Donald hanya merefleksi keadaan pada saat tertentu. Istilah cermin ini akan merujuk pada berbagai perubahan dalam masyarakat, yang menjadikannnya saksi dari sebuah zaman yang berkembang.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kedua novel ini memang berlatar belakang kebudayaan Minang didalamnya. Masyarakatnya dulu memang sering melakukan perjodohan kepada anak-anaknya. Sebetulnya tidak hanya dimasyarakat Minang saja, didalam masyarakat Jawa pun ada yang melaksanakan sistem perjodohan.
Sistem perjodohan dilakukan agar dapat meningkatkan taraf ekonomi keluarga, kerena biasanya anak-anak mereka dijodohkan pada lelaki yang memiliki taraf perekonomian yang lebih tinggi.
Dengan adanya kebiasaan masyarakat yang demikian nampaklah bagaimana kehidupan sosial masyarakat minang berkembang.


DAFTRA PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hamka. 2008. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Bulan Bintang
_____. 2011. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta Timur: Balai Pustaka
http://garammanis.com/2012/01/29/mengenal-proses-perjodohan-di-minangkabau/
Lubis, Bustanuddin. 2008. Sastra Bandingan. Bengkulu: FKIP UNIB
Trisman, B. dkk. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa